Selasa, 28 Januari 2014

21 vs 32 [PART 3]



PART 3—“Yuuhi Wo Miteiru Ka?”—JKT48


            Oik menatap sosok Cakka yang sedang bercengkrama dengan beberapa personil Grand band. Ia menghembuskan nafasnya dengan pelan, lalu kembali menatap cermin yang memantulkan bayangan dirinya yang sedang dirias oleh Gita, penata riasnya.
            Oik kembali berpikir apakah keputusannya membiarkan Cakka mengikuti dia, dan menemani dia selama syuting ini baik atau tidak? Disatu sisi ia kesal karena merasa dijaga ketat oleh Cakka. Namun, di sisi lain mau tidak mau ia harus merasa tersanjung karena perhatian Cakka selama perjalanan kemarin.
            Memberikan jaket ketika Oik kedinginan, memakaikan syal, apalagi ketika Oik mengalami mabuk darat. Cakka dengan sabar memberi Oik obat dan menyiapkan kantung plastik untuk Oik. Agni sendiri mengakui kalau Cakka pria yang bertanggung jawab.
            “Ik, dia pacar kamu ya???” Tanya Gita dengan tiba- tiba.
            “Hah? Siapa?” Tanya Oik seperti orang linglung.
            “Itu yang datang sama kamu kemarin. Dia pacar kamu kan?” Tanya Gita sekali lagi. Oik tersenyum tipis.
            “Belum kok,”
            “Berarti calon pacar ya lebih tepatnya.”  Gita tertawa kecil. Sambil sesekali menarik- narik rambut Oik yang sedang di aturnya saat ini. “Dia pria yang baik. Aku yakin itu.” Ujar Gita lagi.
            Oik mengernyit, “kok kamu bisa berpikir kayak gitu?”
            “Feeling?” jawab Gita dengan singkat. “Semua perlakuannya ke kamu apa kamu nggak sadari?”
            Oik menggeleng pelan lalu menatap Gita yang saat ini sedang menatapnya melalui cermin.
            “Kamu masih belum move on dari Obiet ya? Makanya kamu susah ngeliat dia.”
            Oik terdiam, sebuah senyum pahit terukir di wajahnya. “Nggak juga sih Git, hanya...”
            “Gita!!!! Percepat itu, kita harus take sebentar lagi.” Tiba- tiba teriakan dari sutradara memotong pembicaraan mereka.
            Gita segera mempercepat gerakan tangannya, tidak sampai setengah jam Oik sudah selesai dirias. Dengan bantuan Gita, Oik berjalan menuju lokasi pengambilan gambar yang terletak di sebuah kolam kecil di tengah taman.
            Oik menggunakan bridal dress kali ini, karena video klipnya bercerita tentang seorang gadis yang ditinggal pergi oleh kekasihnya tepat di hari pernikahan mereka karena kekasihnya tersebut lebih memilih cinta pertamanya, dan yang menjadi pasangannya kali ini adalah Alvin vokalis Grand band itu sendiri.
            Melihat Oik yang kelihatannya kerepotan dengan bridal dress- nya, Cakka dengan segera menghampiri Oik dan membantunya memegang bagian belakang dress- nya tersebut.
            “Thanks Kka..”
            “Sama- sama, kamu kerepotan banget pakai dress ini, kenapa nggak pilih dress yang lebih simple?” Tanya Cakka yang berjalan di belakang Oik.
            “Aku suka yang ini, udah deh kamu bisa lepasin sekarang udah dekat kok.” Ujar Oik dengan pelan. Gadis itu pun menatap Cakka sambil tersenyum dengan tulus.
            Setelah itu Oik pun langsung disibukkan dengan berbagai arahan dari sutradara tentang aktingnya dan mereview kembali cerita dari lagu ini. Cakka menatap gadis itu dari kejauhan. Oik tampak serius ketika bekerja, berbeda sekali dengan di kehidupan sehari- harinya. Cakka tersenyum kecil.
            Syuting pun dimulai, adegannya Oik sedang menangis di pinggir kolam kecil yang berada di taman itu, tanpa mempedulikan teriknya matahari. Akhirnya Alvin datang meminta maaf dan memberi pengertian kepada Oik. Namun, Oik yang merasa dirinya sudah sangat dikhianati tidak bisa menerima penjelasan itu begitu saja dan terus menangis.
            Cakka sendiri sudah mulai larut dalam akting Oik. Ia merasa ikut dalam penderitaan tokoh perempuan yang diperankan Oik.
            “CUUTT!!!” Seru suara itu diiringi tepuk tangan dari orang- orang yang berada di tempat itu. Termasuk Cakka. Alvin dan semua kru yang ada di tempat itu langsung menyalami Oik karena aktingnya yang memukau.
            Setelah dirasa lengang, karena semua kru beranjak beristirahat Cakka memutuskan untuk menemui Oik yang sedang membersihkan make up- nya.
            “Akting kamu bagus.” Puji Cakka sambil menatap Oik. Oik mendongakkan kepalanya. Sesaat tatapan mereka pun bertemu.
            “Makasih,” balas Oik yang langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Sesaat keheningan menyelimuti mereka berdua.
            “Aku ambilin makan siang mau?” Tanya Cakka.
            Oik hanya menganggukkan kepalanya tanpa melihat Cakka. Dengan segera Cakka mengambil makan siang untuk mereka berdua. Oik pun menatap punggung Cakka yang semakin menjauh dengan tatapan bingung. Bingung dengan perubahan sikap Cakka akhir- akhir ini.
            Akhir- akhir ini mereka memang sedikit berubah. Tidak ada lagi pertengkaran atau pun perdebatan.di antara mereka, dan hal itu membuat keadaan mereka menjadi sedikit aneh lebih tepatnya mereka berdua merasa berbeda satu sama lain.
            Setelah sepuluh menit menghilang, Cakka pun muncul dengan membawa dua buah kotak makanan. Oik segera menghampirinya dan meminta kotak makanan untuk dirinya.
            “Habis ini masih take Ik?” Tanya Cakka sambil menatap Oik yang sudah mulai menyantap makan siangnya. Oik mengangguk lemah.
            “Ada baiknya kamu istirahat dulu  aja, kamu pasti capek.” Ujar Cakka. Oik  menggeleng.
            “Nggak lah, capek apaan.... seru tahu.” Jawab Oik dengan mulut penuh makanan, Cakka tertawa kecil melihat tingkah Oik yang sama sekali tidak ada jaim- nya sedikit pun.
            “Ya udah, aku temenin kamu—“
            “Nggak usah.....” Potong Oik, Cakka mengernyitkan dahinya. “Nggak usah repot- repot. Kamu istirahat aja di villa,” Ujar Oik. Cakka mengacak rambut Oik dengan pelan.
            “Udah deh, aku sama sekali nggak merasa repot tuh.” Jawab Cakka. Oik menunduk. Salah tingkah?
            Setelahnya mereka pun menghabiskan makanan masing- masing dalam hening. Setengah jam kemudian, sutradara pun memanggil Oik untuk bersiap- siap melakukan syuting scene berikutnya dan pemotretan.

            ***

            Cakka memasuki rest room sambil membawa dua kaleng softdrink. Sejenak ia terdiam di pintu masuk, matanya berkelana menyusuri segala sudut ruangan tersebut dan mendapati Oik sedang mencharger handphone- nya sambil meringkuk di sofa. Gadis itu terlihat lelah. Satu hari ini Oik memang tidak beristirahat sedikit pun, pemotretan di  tempat yang berbeda, syuting yang menghabiskan waktu berjam- jam, belum lagi jika hasilnya kurang maksimal menurut sang sutradara Oik dengan terpaksa harus mengulang aktingnya.
            Tapi, guratan lelah di wajah Oik memang tidak ditunjukkan jika berada di hadapan banyak orang. Cakka cukup salut dengan  sikap profesional Oik. Tanpa pikir panjang, Cakka segera menghampiri Oik.
            “Nih, minum dulu.” Ujar Cakka sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam kaleng berwarna merah ke hadapan wajah Oik. Sesaat Oik mengalihkan perhatiannya dari layar ponselnya. “Thanks,” jawab Oik singkat.
            Cakka memilih duduk di samping Oik sambil mengamati Oik yang sedang menghabiskan minumannya. Setelah minumannya habis, gadis itu kembali berkonsentrasi dengan iPhone yang berada di tangannya, melihat beberapa foto yang ia ambil di sela- sela pemotretan.
            “Aku lihat kamu beberapa kali ditegor sama mas Hamri, kenapa?” Tanya Cakka.
            “Akting aku kurang bagus katanya.” Jawab Oik tanpa mengalihkan pandangannya.
            “Mmm, tadi pas pemotretan kamu juga kena tegor mas Boby.” Ujar Cakka lagi.
            “Iya, senyum aku kurang nge- waw katanya. Nggak tahu deh nge- waw kayak gimana.”
            Cakka mengamati Oik sekali lagi, kali ini lebih lekat. Oik yang merasa dirinya dipandangi segera menolehkan kepalanya.
            “Memang kenapa Kka?” Tanya Oik. Cakka membelai lembut puncak kepala Oik.
            “Nggak capek dimarahin terus? Ternyata banyak hal berat ya di dunia kamu.” Mendadak Oik merasa jantungnya berpacu lebih cepat karena tindakan dan perkataan Cakka barusan.
            “Ng... Kayak kita beda dunia aja Kka. Eh emang beda sih aku dari dunia nyata, kamu dari dunia lain. Dunia gaib!” Ujar Oik dan langsung disambung dengan tawanya yang begitu nyaring dan keras. Cakka merengut kesal.
            “Wisss... Aku serius Oik! Aku lagi bikin sweet moment kamu malah hancurin. Setidaknya respon kek ‘ternyata kamu merhatiin aku ya’ ini nggak! Ngeri banget sih kamu Ik.” Ujar Cakka lalu beranjak meninggalkan Oik.
            “Jiahhh ngambek! Cakka!!! Inget umur, udah tua masih suka ngambek.” Ujar Oik. Semenit kemudian, ia melarikan jari- jarinya ke puncak kepalanya yang dibelai Cakka tadi.
            “Dasar Cakka, ternyata kamu merhatiin aku juga ya...”

            ***

            Pagi ini Oik sarapan bersama personil Grand Band tanpa ditemani kru lain. Sementara Cakka sendiri tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
            “Nyari siapa Ik?” Tanya Alvin yang heran melihat Oik yang terus menerus mencuri pandang kesana kemari.
            “Hah?? Ng.. nggak... nggak nyari siapa- siapa kok Vin.” Jawab Oik lalu berkonsentrasi dengan hidangan yang berada di hadapannya.
            “Om lo mana Ik?” Tanya Deva, drummer Grand Band dengan tiba- tiba.
            “What? Om gue?” Ujar Oik sedikit kaget. Deva mengangguk pelan, “yang nemenin lo kesini Om lo kan? Ganteng lho, gue aja kalah.” Sambung Deva.
            “I... iya, eh, lo tahu darimana dia Om gue?” Tanya Oik.
            “Simple aja. Dia kelihatan lebih tua dari lo,” Jawab Deva. Oik melongo mendengar jawaban Deva
            Deva saja menganggap Cakka adalah Om Oik. Bagaimana dengan yang lain? Oh,  kecuali Gita. Gadis itu menganggap Cakka adalah pacarnya. Kelihatannya ia harus bertanya tentang pendapat Gita nanti.
            “Nanti syuting dimana?” Tanya Alvin. Oik mengambil iPhone- nya dan mengecek beberapa note yang ia simpan sebelumnya.
            “Ada sungai di dekat villa ini kita syuting di sungai itu.” Jawab Oik.
            “Sungai yang ada di dekat sawah itu kan?” Kali ini Kiki sang gitaris yang bertanya.
            “Mungkin, aku juga kurang tahu.” Ujar Oik. “Mana semua kru udah jalan duluan lagi.”
            “Aku tahu tempatnya.” Ujar Cakka yang tiba- tiba memasuki ruang makan sambil membawa satu tas kecil.
            Alvin tersenyum lebar, “Makasih Om.”
            “Sama- sama, sekarang lanjutin aja dulu sarapannya.” Ujar Cakka lalu segera meninggalkan Oik dan personil Grand Band.

            ***

            Perjalanan menuju sungai tempat syuting kali ini lumayan sulit. Apalagi karena melewati persawahan, mereka harus ekstra berhati- hati jika tidak mau pakaian mereka terkena lumpur. Alvin dan personil Grand Band yang lain sudah lumayan jauh di depan. Sementara Cakka, ia masih di belakang mendampingi Oik yang sepertinya cukup kesulitan melewati jalan got pengairan di sawah tersebut.
            “Capek Ik?” Tanya Cakka. Oik berhenti sejenak.
            “Nggak kok,”
            Cakka tersenyum mendengar jawaban Oik. Kemudian mereka pun melanjutkan perjalanan mereka. Sesekali Oik berhenti untuk memotret pemadangan di sekitar persawahan.
            “Cakka,”
            “Hmm???”
            “PH kamu pernah bikin sinetron yang lokasi syutingnya di persawahan kayak gini nggak?” Tanya Oik sambil terus berkutat dengan handphone- nya.
            Cakka berhenti sejenak. “Belum pernah, memang kenapa?”
            “Sayang banget. Padahal tempatnya ini menarik lho Kka, coba deh kamu bikin sinetron dengan latar belakang perkampungan yang banyak sawahnya. Pasti menarik.”
            Cakka tampak berpikir. “Kalau kamu mau main di sinetron itu nanti aku usahain. Gimana?” Tanya Cakka.
            “Boleh, tapi bayaranku harus tinggi.” Ujar Oik sambil mengerlingkan sebelah matanya.
            Mereka pun kembali meneruskan perjalanan mereka. Setelah mereka sampai di lokasi pemotretan pun segera dilakukan.

***

            Sore hari pun tiba, pemotretan pun disudahi saat itu juga dan akan dilanjutkan keesokan harinya. Oik menatap para kru yang sedang membereskan berbagai peralatan mereka. Karena merasa bosan Oik memutuskan untuk menyusuri sungai kecil tersebut.
            Cakka yang memperhatikan Oik sedari tadi segera mengikutinya. Oik masih asyik melihat pemandangan sekelilingnya, dan baru menyadari kehadiran Cakka setelah Cakka menepuk pundaknya.
            “Kamu mau kemana Ik?” Tanya Cakka.
            “Mau ke batu itu.” Ujar Oik sambil menunjuk sebuah batu yang berukuran besar yang tampak berdiri dengan gagahnya di tepi sungai tersebut.
            “Aku temenin ya????” Oik hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Mereka pun bersama- sama menyusuri pinggiran sungai dan berhasil naik ke atas batu besar tersebut.
            Oik memejamkan matanya berusaha meresapi udara sejuk di sekitarnya, tanpa sadar Cakka tersenyum melihat ekspresi Oik.
            “Udaranya sejuk ya Kka,” ujar Oik sambil membuka matanya dengan perlahan.
            “Banget Ik. Aku jarang ngerasain udara sejuk begini kalau lagi di Jakarta.” Ujar Cakka sambil melemparkan pandangannya ke sekitarnya.
            “Oh iya Ik, aku mau nanya sesuatu dong, boleh ngga?” Ujar Cakka, Oik segera mengalihkan pandangannya ke arah Cakka.
            “Nanya apa? Boleh dong.”
            “Kamu ngga stress gitu, satu hari ini kamu dimarahin terus, dituntut ini itu lah, itu kan berat banget Ik,” Ujar Cakka dengan tatapan penuh kekhawatiran. Oik tersenyum.
            “Ngga sih, yang sedih sih banyak, yang berat juga banyak, Cuma kalau yang bahagia lebih banyak lagi ngga masalah, ngga apa- apa lah.” Ujar Oik lalu disambung dengan tawa renyahnya. Cakka tersenyum lebar mendengar jawaban Oik.
            “Kamu tuh ya Ik.” Cakka mengacak rambut Oik dengan gemas.
            “Dan bahagia aku itu bisa ngeliat kamu di samping aku selama aku menghadapi hal- hal berat Kka...” Batin Oik.

            ***

“—Meski ada hal sedih ataupun hal yang memberatkan tak apa asal yang bahagia lebih banyak."

***