Minggu, 29 September 2013

21 vs 32 [PART 2]

PART2—“I knew You’re Trouble”—Taylor Swift
           
            Oik menatap sebaris pesan singkat di iPhone- nya, dari Cakka. Ketika perkenalan tiga hari yang lalu Rio memang menyarankan Cakka dan Oik agar bertukar nomor handphone supaya bisa saling berkomunikasi. Sekali lagi Oik membaca pesan singkat tersebut.

            From: Cakka -__-
            Ke Rosette cafe sekarang! Kita mau jalan- jalan. Cepat gpl!

            Oik melengos, kesal! Dimana- mana kalau laki- laki dan perempuan mau jalan- jalan, laki- laki pasti menjemput si perempuan, Oik membatin. Sedangkan Cakka mungkin adalah spesies langka dari semua laki- laki yang ada di dunia ini, menyuruh pasangannya menemuinya? Hellow.. Untung ini Oik Ramadlani, artis dengan sejuta tempat nongkrong yang hits, salah satunya ya itu Rosette cafe. Coba kalau pasangan Cakka adalah Mina! Si Mina masuk kota yang tidak tahu apa- apa tentang spot- spot menarik di Jakarta. Jangankan itu, mungkin pengertian spot saja tidak tahu. Oik mencibir.
            Tapi jujur saja, setelah beberapa kali pacaran Oik memang baru pertama kali menghadapi yang jenisnya sepertinya Cakka. Dulu mantan- mantannya sangat memperlakukan ia dengan sangat istimewa, meskipun Oik berusia lebih tua di atas mereka, sekarang? Beuh... Jangankan diperlakukan istimewa, dengan baik pun tidak sama sekali!  Setiap bertemu hanya berdebat, berdebat dan berdebat lagi.Aishhh...
            Oik segera membalas pesan Cakka.

            To: Cakka -__-
            Aku ga bisa ‘ga pake lama’ aku lagi di kantor management lagi meeting soal MnG aku bulan depan.

            Oik tersenyum lalu menatap Agni yang berada di sampingnya.
            “Ayo kita pilih bajunya lagi, di rak yang paling belakang mbak Reyna punya koleksi gaun yang oke banget! Lihat yokk...” Rajuk Oik sambil menarik- narik lenganAgni.
            “Iya...iya... Tapi kenapa lo mesti bohong si sama Cakka? Pakai mengatas- namakan management lagi. Nanti kalau Cakka menelepon atau datang ke kantor gimana?”Ujar Agni. Oik hanya tertawa kecil sebelum akhirnya menyeret Agni ke rak paling belakang.

            ***

            Cakka menatap handphone- nya sambil melongo. Oik tidak membalas ‘iya aku bakal kesana lima menit lagi’ seperti yang ia harapkan. Dengan geram ia memasukkan handphone- nya ke dalam saku. Oik memang berbeda dari gadis yang lainnya, Cakka harus mengerti itu di usianya yang baru dua puluh satu tahun bisa dibilang usia untuk have fun, apalagi Oik adalah seorang artis yang mempunyai schedule yang lumayan padat. Cakka menghembuskan nafas.
            Pikirannya kembali ketika perkenalan tiga hari yang lalu di rumah Rio. Selama di rumah Rio gadis itu selalu memasang wajah tidak suka pada dirinya. Namun, apa boleh buat mungkin untuk sekedar menghargai Rio ia berusaha untuk menerima kehadiran Cakka dan voila aktingnya memang cukup bagus, wajar Oik memang artis.
            “Tapi, sih Om, Mmm... Om.. Cakk, mas.. Cakk..” Oik kelihatan bingung menyebutkan panggilan untuk Cakka.
            “Cakka, panggil Cakka aja, nggak masalah.” Oik hanya mengangguk mendengar penawaran Cakka.
            Cakka tersenyum geli bila mengingat hal itu, perbedaan usia yang jauh lumayan menyulitkan biasanya. Namun, itu tidak berarti untuk Cakka dan Oik keduanya malah merasa seperti seumuran. Bertengkar seperti anak- anak yang tidak kenal batasan usia dan tempat, terkadang hanya karena hal sepele.
            Cakka kembali mengambil handphone- nya lalu mengetik sebuah pesan.

            To: Oik -,-
            Aku jemput kamu ya, sepuluh menit lagi aku sampai.

            Cakka menghabiskan capuccino pesanannya, sebelum mengeluarkan selembar uang seratus ribu lalu berjalan keluar dari cafe tersebut.

            ***

            Oik terkejut membaca pesan dari Cakka. Ia segera memandang Agni yang juga sudah ikut membaca pesan dari Cakka.
            “Mmm... aku rasa kita harus cepat ke kantor sekarang juga deh Ik,” ujar Agni. Oik hanya bisa mengangguk. Dengan tergesa- gesa mereka segera menuju kantor management Oik. Mereka segera keluar dari butik dan bergegas masuk ke dalam Brio milikOik.
            “Waduh, kamu bisa lebih cepat nggak sih bawa mobilnya,” ujar Agni kepada Oik yang saat ini sedang berkonsentrasi dengan setir- nya.
            “Santai dong Ni, ini juga udah cepat!”
            “Tapikan—“
            “Diem atau kita bakal tabrakan.” Ujar Oik. Agni pun mengatupkan mulutnya dengan cepat. Oik masih berkonsentrasi dengan jalanan yang ada dihadapannya sambil sesekali melirik jam tangan coklat- nya.
            Tiba-tiba terdengar bunyi dering dari blackberry Oik, Agni segera merogoh tas Oik yang berada di pangkuannya. Nama yang tertera di layar- nya membuat Agni membulatkan matanya.
            “Cakka calling Ik,” ujar Agni. Oik segera mengambil blackberry- nya dari genggaman Agni dan menekan tombol berwarna hijau.
            “Yes???”Ujar Oik sambil tetap menjalankan mobilnya.
            “Kamu dimana?” Tanya suara dari seberang, Cakka.
            “Di jalan, kenapa?”
            “Aku udah sampai di kantor kamu, tapi kamu nggak ada,” ujar Cakka. Oik memutar kedua bola matanya.
            “Yayaya, aku habis dari butik. Lagian ngapain sih kamu pakai acara datang ke kantor aku, kan bisa tunggu di cafe.” Ujar Oik mulai kesal.
            “Ya, kamu lama banget datangnya.” Jawab Cakka. Oik mengernyit.
            “Kamu tutup telepon dari aku itu baru sekitar lima belas menit, dan kamu langsung sms aku, masa lama sih?” Ujar Oik dengan kesal. Cakka menghembuskan nafasnya.
            “Udah nggak usah berdebat bisa kali, sekarang kamu buruan ke kantor. GPL!” Ujar Cakka dengan memberikan sedikit penekanan pada kata GPL. Oik melengos lalu memutuskan sambungan teleponnya.
            “Trouble!” Geram Oik.

            ***

            Cakka kembali melirik jam tangan silvernya sambil sesekali pintu masuk. Dasar lamban! Batin Cakka. Tapi Cakka sedikit termenung, dirinya bisa dan mau menunggu untuk seorang Oik. Hal yang tidak pernah bisa ia lakukan selama ini. Biasanya dirinyalah yang membuat orang menunggu, dan sekarang Oik berhasil membuat ia menunggu untuk pertama kalinya.
            Bunyi klakson membuyarkan lamunan Cakka, ia segera melihat Oik dan Agni turun dari mobilnya. Oik memasuki kantornya sementara Agni bertukar posisi dengan Oik untuk memarkirkan mobilnya.
            “Udah lama?” Tanya Oik begitu berada di hadapan Cakka.
            Cakka menatap Oik dengan malas, “ngga juga baru satu jam.” Jawab Cakka asal.
            Oik tertawa kecil. “Bohong banget! Ngambek ya? Udah gede masih ngambek.” Ujar Oik yang masih saja tertawa.
            “Udah deh, nggak usah ketawa. Sekarang ayo kita jalan- jalan.” Ujar Cakka lalu bangkit dari sofa yang sedari tadi menopang berat badannya.
            “Males. Capek tahu!” Ujar Oik dengan singkat. Mendadak Cakka menatap Oik tajam.
            “Aku aduin ke Rio!”
            Mendengar nama Rio, Oik jadi berpikir. “Oke, oke! Bisanya cuma ngadu, hobi banget sih udah tiga puluh dua tahun masih tukang ngadu. Aku jadi mikir waktu kecil- nya kamu tuh gimana sih?” Ujar Oik lalu membalikkan badannya, berjalan ke arah pintu. Mendahului Cakka.
            “Trouble.” Batin Cakka sebelum mengikuti langkah Oik.

            ***

            Oik berjalan menyusuri rak- rak khusus makanan cemilan sambil menenteng keranjang biru yang disediakan di supermarket tersebut. Tampak keranjang itu sudah hampir terisi penuh.  Sementara Cakka hanyamengikuti Oik sambil bersedekap.
            “Kamu mau beli apa lagi sih, Ik yang kamu ambil itu belum cukup apa?” Tanya Cakka sambil melirik keranjang biru Oik yang berisi beberapa bungkus chitato, dua botol besar coca cola, satu kaleng tango, satu bungkus roti tawar, dan masih banyak lagi.
            “Aduh, aku tuh mau ngisi kulkas hari ini Cakka! So, jangan ganggu aku dulu, aku lagi mikir mau beli apa lagi.” Ujar Oik kemudian kembali berkonsentrasi menyusuri rak makanan yang berada di kiri- kanannya. Cakka hanya bisa menggelengkan kepalanya.
            Setelah hampir setengah jam mereka mengelilingi super market, Oik pun memutuskan untuk membayarbelanjaan- nya, saat ia hendak berjalan menuju kasir, lengannya dicekal oleh Cakka.
            “Semua orang udah ngeliat aku jalan sama kamu, nemenin kamu, jadi sebagai laki- laki gentleman, aku nggak mungkin membiarkan kamu bayar belanjaan kamu sendiri. Jadi, sini aku bawain belanjaan kamu, biar aku yang bayar.” Ujar Cakka lalu menarik belanjaan Oik. Namun, sepertinya Oik tidak berniat untuk ‘ditraktir’oleh Cakka.
            “Aku punya uang sendiri. Lagian aku nggak biasa dibayarin sama laki- laki.” Ujar Oik sambil menahan keranjang birunya. Cakka menatap Oik dengan tajam.
            “Aku nggak kayak mantan- mantan kamu yang nggak gentleman itu. So, lepasin sekarang dan biarin aku yang bayar,” ujar Cakka tanpa mengalihkan pandangannya dari Oik.
            “Tapi kamu bukan mantan aku, ” jawab Oik sebelum melepaskan pegangannya dari keranjang biru itu dan membiarkan Cakka membawanya.
            “Justru karena aku bukan mantan kamu, makanya aku nggak mau diperlakukan sama kayak mereka.” Ujar Cakka lalu meninggalkan Oik yang masih kesal dengan sikap Cakka.
            Oik segera memakai kacamata hitam- nya lalu mengikuti Cakka yang sudah terlebih dahulu tiba di kasir.
            “Nah, sekarang kamu yang temenin aku. Okay?” Ujar Cakka ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Oik masih memeriksa isi kantong belanjaannya.
            “Kemana dulu? Kalau ke tempat yang aneh- aneh aku nggak mau.” Kata Oik tanpa mengalihkan pandangannya dari kantong belanjaannya.
            Cakka tertawa kecil, “Nggak mungkinlah. Aku bukan tipe orang yang hobi ke tempat aneh kayak yang ada di pikiran kamu.” Oik mengedikkan bahunya, cuek.
            Dengan segera Cakka menghidupkan mesin mobilnya lalu menginjakkan pedal gas- nya, dan perlahan CRV milik Cakka meninggalkan parkiran supermarket tersebut.
           Dan ternyata Cakka membawa Oik ke Gramedia, tempat yang paling dibenci Oik. Kenapa? Karena ditempat inilah Oik memergoki Ozy bersama selingkuhannya. Oik merasa mem-flashback kejadian itu.

            ***

            Siang itu Oik yang sedang mencari novel untuk persediaanya begadang bersama Agni. Ketika itu ia memang meminta Ozy untuk menemaninya, tetapi Ozy mengatakan bahwa ia ada urusan menemani mamanya ke rumah sakit untuk check up. Oik cukup mengerti dengan keadaan mamanya Ozy pada saat itu, dan memilih untuk membeli novelnya seorang diri.
            Oik sedang berkutat dengan buku- buku romance yang berada di hadapannya, ketika ia mendengar suara tawa laki- laki yang cukup familiar di telinganya. Namun, Oik berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu bukanlah ‘dia’, dan menyibukkan dirinya kembali dengan novel yang sedang berada di genggamannya.
            “Sayang, novel ini lucu tahu. Masa cowo- nya Kiara di novel ini lari keliling lapangan tujuh kali waktu Kiara nerima dia? Kamu harus baca pokoknya.” Suara perempuan yang terdengar dari balik rak Oik mengusik telinganya.
            “Ohya? Aku bakal baca deh, apa sih yang nggak buat kamu sayang?” Ujar suara lain, dan itu suara laki- laki. Oik menajamkan telinganya, ia benar- benar merasa familiar dengan suara laki- laki itu.
            “Janji ya???” Kali ini suara perempuan itu lagi.
            “OzyAdriansyah nggak akan pernah ingkar janji!” Ujar suara lain itu dengan mantap. Oik terkesiap, hatinya berdenyut sakit mendengar suara dan nama itu. Tiba- tiba ia merasa dadanya terhimpit oleh suatu beban yang berat dan Oik tahu bahwa semua beban itu harus diangkat dan dibuang sejauh mungkin. Tanpa mempedulikan airmatanya yang sudah mulai tumpah, Oik berjalan ke balik raknya dan mendapati kekasihnya sedang bersama dengan ‘kekasih’- nya yang lain. Namun, kekasihnya itu belum menyadari kehadiran Oik, ia malah membelakangi Oik, membantu‘kekasih’- nya yang satu lagi itu memilih novel. Oik segera mengambil handphone- nya dan mencoba menghubungi Ozy.
            “Halo...” Jawab Ozy, ia belum menyadari keberadaan Oik di belakangnya.
            “Kamu lagi dimana Zy?”
            “Ini.. aku lagi di rumah sakit, nemenin mama check up. Kenapa Ik?”
            Kali ini Oik tidak bisa membendung airmatanya. “Kok rame banget.” Ujar Oik sambil menahan bibirnya yang mulai bergetar.
            “Iya pasien rumah sakit banyak banget nih sayang.” Ujar Ozy sambil melirik gadis yang berada di sampingnya itu. Gadis itu tersenyum tipis, ia sudah tahu bahwa ia adalah yang kedua untuk Ozy. Si ke ‘dua’ yang selalu di nomor satu kan oleh Ozy.
            “Oh... rumah sakit, banyak pasien ya? Coba deh kamu balik dulu ke belakang aku udah punya surprise untuk kamu.” Ujar Oik.
            Di tempatnya Ozy seperti terdiam kaku. Seperti gerakan slow motion ia membalikkan badannya dan mendapati gadis yang baru saja dibohonginya itu sedang tersenyum, namun, airmata masih mengalir di kedua pipinya.
            “SURPRISE!!!”Ujar Oik dengan riang. Lebih tepatnya berusaha riang. “Kaget Zy? Senang nggak sama surprise aku?”
            Ozy tidak bisa berbuat apa- apa lagi. Ia tahu bahwa ia sudah telak di hadapan Oik kali ini. Gadis yang berada di samping Ozy sedari tadi kini hanya bisa menunduk tak berani menatap Oik.
            “Aku.. minta maaf Ik, a.. akuu..” Ozy merasa kesulitan meneruskan perkataannya.
            “Selamat ya!!! Kalian pasangan serasi. Kok nggak kasih tahu aku sih,” Ujar Oik sambil tersenyum. Airmatanya mulai mengering.
            “A..a.. aku...” Oik tampak menghampiri Ozy dan gadis itu tanpa menghilangkan senyumannya.
            “Nama kamu siapa?” Tanya Oik berusaha ramah kepada gadis yang sedang menunduk itu. Meskipun sakit, namun hal ini adalah kenyataan yang harus diterima olehnya. Oik sadar betul akan hal itu.
            Gadis itu mendongakkan kepalanya, menatap mata Oik yang sembap karena menangis. Tiba-tiba perasaan bersalah menjalari hati gadis itu. Ia kembali menunduk sementara Ozy sudah ketar- ketir melihat tingkah Oik.
            “Kok nunduk sih, aku Oik,... kakaknya Ozy. Nama kamu siapa?” Kali ini Oik mengulurkan tangannya. Sementara Ozy termangu hebat mendengar perkataan Oikyang mengatakan bahwa gadis itu adalah kakaknya.
            “Aku  Acha mbak,” gadis itu lalu mendongakkan kepalanya berusaha menghadapi Oik.
            Oik tersenyum, kali ini ia mencoba tersenyum tulus.
            “Ozy jahat ya, pacar secantik ini nggak dikasih tahu ke kakaknya, atau mungkin karena takut dibahas di infotaiment ya?” Ujar Oik sambil meneliti Acha. “Umur berapa?”
            “Enam belas tahun mbak,” jawab Acha. Oik tersenyum pahit.
            “Oh, satu tahun di bawah Ozy.” Acha hanya mengangguk.
            Ozy masih dalam diamnya, menundukkan kepalanya tidak berani melihat Oik.
            “Yoweslah, semoga kalian bahagia. Longlast ya Cha, Zy. Aku minta jagain adik aku yang satu itu ya Cha. Dia rada suka ngambekan,” Ujar Oik sambil tertawa kecil. Ia pun kemudian berbalik tanpa mempedulikan tatapan mengiba dari orang- orang yang ia lewati, tanpa mempedulikan teriakan Ozy yang memanggil namanya. Ternyata gosip tentang Ozy yang berselingkuh memang benar, ya, kebenaran memang pasti akan terungkap.
            Oik segera mengeluarkan blackberrynya, mengetik satu kalimat untuk Ozy.

            To: Ozy
            It’s over! Congrats yaa :”)

            ***

            “Aku ngajak kamu kesini bukan untuk mengkhayal, Ik. Temenin aku dong.” Perkataan Cakka suksesmembuyarkan lamunan Oik tentang Ozy beberapa menit yang lalu. Ia menatap Cakka dengan pandangan kosong lalu mengangguk begitu saja.
            “Ik, kamu... nggak suka ke tempat ini?” Tanya Cakka dengan ragu kepada Oik yang sudah mendahuluinya beberapa langkah. Oik bergeming, memikirkan kata- kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Cakka.
            “Kalau boleh jujur sih, nggak,” jawab Oik.
            “Kenapa kamu nggak bilang, aku kan bisa cari tempat lain. Ya sudah kita ke tempat lain aja.” Ujar Cakka. Sekali lagi Cakka terkesiap. Ia mengalah! Ternyata dirinya bisa juga mengesampingkan egonya demi seseorang.
            Cakka belum beranjak ketika Oik memanggil dirinya, “Ayo Kka, jangan diam terus dong.”
            Cakka mengernyit heran melihat Oik yang masih saja menyusuri rak buku yang berada di sebelah kirinya. Bukannya gadis itu mengatakan bahwa ia tidak suk tempat ini? Cakka menggeleng saja melihat tingkah Oik.
            “Kamu bilang kamu nggak suka tempat ini.” Ujar Cakka begitu berada di samping gadis itu. “Kamu kan udah nemenin aku, sekarang giliran aku nemenin kamu.” Balas Oik tanpa melihat Cakka.
            “Aku nggak boleh egois dong.” Sambung Oik lagi, “kamu mau cari buku apa?”
            “Mmm... Rahasia menjadi pengusaha sukses, karangan Agung Wicaksono.” Oik membulatkan mulutnya, lalu mulai sibuk mencari. Sebuah senyum tersungging di wajahnya ketika ia mendapat apa yang ia cari.
            “Ini, Kka... Cepat bayar. Mumpung kasir masih sepi, atau kamu masih pengen nyari buku lagi?” Tanya gadis itu. Cakka hanya menggeleng lalu beranjak menuju kasir.
            Setelah membayar, Cakka dan Oik pun keluar dari Gramedia. Tiba- tiba seperti dikomando sekelompok manusia yang berjumlah kira- kira sepuluh orang datang menghampiri keduanya. Kebanyakan sih perempuan.
            “Mbak Oik, minta tanda tangannya dong.”
            “Mbak foto bareng dong,” begitulah suara- suara yang terdengar oleh Cakka dan Oik.
            Cakka segera mundur dengan perlahan, memberi Oik ruang agar bisa melayani permintaan para fans- nya tersebut. Sampai beberapa saat kemudian seorang fans menyadari kehadirannya.
            “Mbak Oik itu pacarnya ya?” Tanya salah seorang dari mereka. Kali ini kerumunan itu mulai menyerbu Cakka. Laki-laki itu tampak kaget ketika kerumunan fans Oik mengerumuninya. Namun, Cakka mengembalikan ekspresinya menjadi lebih tenang. Di satu sisi Oik mulai kelihatan panik. Sepertinya beberapa waktu ke depan ia akan memenuhi halaman majalah gosip dan segmen di infotaiment gosip.
            Oik baru akan menjawab ketika Cakka sudah berjalan ke arahnya lalu merangkulnya.“Iya saya pacarnya Oik. Nama saya Cakka.” Perkataannya itu sukses membuat mata seluruh fans Oik termasuk juga Oik membulat dengan sempurna.
            “Wuih,cocok kok Mbak Ik, Cuma kok kayak lebih dewasa gitu ya mbak,”
            “Wah, mbak Oik nggak doyan brondong lagi nih?”
            Pertanyaan terus dilontarkan oleh para fans Oik yang membuat gadis itu semakin gerah. Dengan sekali sentakan ia menarik tangan Cakka untuk menjauhi kerumunan yang mulai mengejar mereka. Oik segera masuk ke dalam CRV milik Cakka, disusul oleh si pemilik. Beberapa orang masih mencoba mengambil gambar mereka, dan beberapa lagi sibuk menggedor pintu mobil Cakka.
            “Buruan jalanin mobilnya Cakka!” Ujaar Oik dengan kesal. Cakka segera menyalakan mesin mobilnya sebelum akhirnya menginjak pedal gas, dan CRV hitam itu pun meninggalkan kerumunan orang- orang tersebut.
            Oik memijat keningnya dengan perlahan sambil memejamkan matanya.
            “Stress Ik?” Tanya Cakka sambil melirik gadis yang berada di sampingnya itu sekilas.
            “Banget! Kamu sih... Ngapain kamu bilang kalau kamu itu pacar aku! Memangnya kamu pernah nembak aku? Kita nggak pacaran Cakka masih tahap pendekatan.” Ujar Oik. Cakka hanya tertawa kecil.
            “Dan gara- gara kamu, rumah aku pasti bakal kedatangan wartawan. Besok aku bakal digosipin lagi.” Kali ini Oik menatap Cakka dengan tatapan kesal. Cakka hanya mengedikkan bahunya.
            “Ihhhh... Kamu tuh pengacau banget tahu nggak? Trouble pokoknya!” Ujar Oik sambil memukul- mukul lengan Cakka dengan pelan. Cakka hanya tertawa melihat tingkah Oik.
            “Dua puluh satu tahun, masih bersikap kayak anak- anak.” Cibir Cakka.
            “Biarin! daripada kamu tiga puluh dua tahun, masih hobi ngeganggu orang,”
            Dan perjalanan mereka pun dipenuhi dengan berbagai perdebatan.

            ***

            Agni menatap Oik dengan heran begitu melihat gadis itu melemparkan tas- nya begitu saja. Oik menghempaskan tubuhnya ke sofa yang sudah diduduki Agni sedari tadi. Ia menghembuskan nafasnya.
            “Kenapa? Ada sesuatu terjadi?” Tanya Agni.
            “Cakka bikin ulah! Dia ngaku jadi pacar aku, and then siap- siap aja kita kedatangan banyak wartawan nanti.” Ujar Oik yang saat ini sedang mengutak- atik iPhone-nya. Agni hanya menggelengkan kepalanya.
            “Ya,  kalau wartawan datang, jawab aja lagi. Susah amat.” Ujar Agni.
            “Kamu ngomongnya gampang, yang bakal berhadapan sama mereka kan aku Agni.”
            Agni mengedikkan bahunya.
            “Dia itu memang trouble banget tahu Ni, setiap aku kemana- mana selau aja ada gangguan. Itu karena dia yang trouble maker atau gimana gitu,” Oik tampak berpikir. Agni menatap Oik dengan pandangan paling aneh sedunia.
            "Udah deh, daripada kamu bingung kayak gitu, mending kamu mandi, biar aku siapin makan malam buat kamu.” Oik menganggguk, dan tanpa banyak berkata lagi ia segera melangkah kakinya menuju kamar mandi.

            ***

            Pagi ini Oik bangun lebih awal karena ada jadwal syuting video klip dengan Grand Band. Agni sendiri sudah mempersiapkan keperluan Oik.
            “Cakka ikut nggak Ik?” Tanya Agni.
            “Nggaklah! Nanti dia bikin keributan lagi di lokasi.” Ujar Oik sambil mematut dirinya di depan cermin.
            Agni hanya mengangguk tanda mengerti. Setelah setengah jam mempersiapkan segalanya, mereka pun segera menuju keluar dari rumah. Oik yang terlebih dahulu keluar untuk memanaskan mesin mobilnya. Namun, alangkah terkejutnya ketika ia melihat sosok yang tengah berdiri di depan pintunya.
            “Cakka... Kamu ngapain kesini?”
            “Mau ngantar kamu. Zahra bilang hari ini kamu ada syuting video clip di daerah puncak.” Ujar Cakka sambil tersenyum. Oik mengeluh dalam hati, berarti hari ini ia harus bersama Cakka lagi. Oik mengangguk lemah.
            “Padahal aku mau bawa mobil sendiri Kka...” Ujar Oik dengan pelan.
            “Nggak usah, aku bakal ngantar kamu.”
            “Okelah. Agni!!!! Kita nggak usah bawa mobil lagi.” Ujar Oik.
            Agni menjawab seruan Oik, dan lalu turun membawa travel bag milik Oik.
            “Angkatin tuh Kka, kasihan Agni.”
            Cakka terkejut melihat jumlah travel yang dibawa Agni. Ada tiga buah
            “Kamu mau pindahan atau syuting Ik?” Tanya Cakka yang langsung bergegas mengambil alih travel bag dari tangan Agni.
            “Lho aku sama Agni bakalan nginap di puncak selama lima hari Kka...”
            Cakka membulatkan matanya, kaget. “Zahra nggak bilang kalau kamu bakal nginap.”
            “Memang mesti ngelapor gitu sama kamu.”
            Cakka menggeram kesal, dengan segera ia menelepon asisten pribadinya untuk menyiapkan pakaiannya.
            “Kamu mau ikutan nginap?” Tanya Oik yang hampir tidak percaya mendengar perkataan Cakka dengan asistennya.
            “Iya.Why not?”  Ujar Cakka lalu mengangkat travel bag milik Oik dan memasukkannya ke dalam mobilnya. Oik mengikuti Cakka dari belakang.
            “Kenapa ikut sih?” Tanya Oik.
            Cakka menatap Oik dalam. “Aku pengen ngeliat gimana kamu berakting, dan mendalami dunia kamu.”
            Oik terdiam mendengar suara Cakka yang terkesan,... Terkesan apa ya? Oik tidak bisa mendeskripsikannya begitu saja. Dan ia merasa bahwa Cakka mulai mengganggu kehidupannya. Terlebih Cakka sudah mulai mengusik hatinya.

            ***

            “I knew you were trouble when you walkedin—“

            ***

Selasa, 24 September 2013

21 vs 32 [PART 1]

PART 1—“Black and white”—G.Na

            Oik memarkirkan mobilnya di parkiran kantor management- nya. Ada beberapa kontrak yang akan ia diskusikan dan ia tanda tangani dengan Bu Zahra, pimpinan management- nya. Oik mematikan mesin mobilnya lalu merapikan sedikit make up-nya lalu segera berjalan memasuki gedung management-nya. Sambil bersenandung ria Oik menyusuri koridor kantornya. Sesekali ia membalas sapaan para karyawan di kantor tersebut, juga beberapa artis yang bernaung di management yang sama.
            “Selamat pagi Oik,” sapa Agni, managernya.
            “Pagi Ni! Mmm... Bu Zahra mana ya???” Tanya Oik.
            ‘”Kayaknya ada di ruangannya deh Ik, kamu kan lagi ditungguin sama dia.” Ujar Agni. Oikhanya ber ‘oh’ ria. “Ya udah aku ke ruangannya dulu ya,” ujar Oik.
            “Iya,Eh, Ik... Jangan lupa siang ini kita ke majalah Fresh untuk interview sama pemotretan.” Ujar Agni yang langsung dijawab Oik dengan anggukan.
            Agni pun segera berlalu dari hadapan Oik. Sehingga Oik memutuskan untuk meneruskan langkahnya ke ruangan Bu Zahra pemilik management- nya itu.
            “Pagi Bu...” Sapa Oik setelah melihat pintu ruangan itu terbuka.
            “Oh, kamu sudah datang Ik, mari masuk, ada beberapa kontrak yang harus kita diskusikan dan kita tanda tangani.” Ujar Bu Zahra.
            Oik segera masuk ke dalam ruangan itu dan duduk di sofa abu- abu yang berada diruangan itu. Sementara Bu Zahra mengambilkan beberapa berkas yang ada di atas mejanya.
            “Ini ada kontrak dari PT. HealFood yang mengajak kamu bekerja sama sebagai model iklan beberapa produk makanan mereka.” Ujar Bu Zahra sambil menyerahkan beberapa lembar kertas kepada Oik.
            Oik membacanya secara seksama. “Kontraknya cuma enam bulan Ik, soal honor akan kita negosiasikan dengan mereka kalau kamu tertarik.” Lanjut Bu Zahra. Oik hanya menganggukkan kepalanya.
            “Mmmm.... Ini kontrak dari PH ScreenPlay, yang mengajak kamu bekerja sama untuk bermain film layar lebar garapan mereka.” Ujar Bu Zahra sambil memberikan beberapa lembar kertas lagi kepada Oik.
            “Layar lebar bu???”
            “Iya, di kontrak itu tertulis kamu akan beradu akting dengan beberapa member dari JKT48, kalau nggak salah Gaby, Beby, Achan dan Stella.” Ujar Bu Zahra sambil memilah- milah beberapa kertas lainnya.
            “Terus ada kontrak dari Grand Band yang mengajak kamu bekerja sama sebagai model video klip mereka untuk tiga lagu.” Kertas pun kembali diberikan kepada Oik.
            Oik hanya bisa melongo menatap lembaran- lembaran kertas yang berada di hadapannya sekarang. Ia akui ia memang salah satu artis yang paling laris di management-nya saat ini. Tapi, demi apapun kontrak sebanyak ini, bagaimana ia memilihnya.
            “Ada kontrak lagi dengan PT. Unilever yang mengajak kamu bekerja sama sebagai model produk sabun mandi mereka.” Ujar Bu Zahra.
            “No, aku tolak itu Bu.” Ujar Oik dengan tegas. Bu Zahra mengangguk tanda mengerti dengan keputusan Oik.
            “Kontrak terakhir dari PH GuideArt yang mengajak kamu bekerja sama untuk bermain di sinetron terbaru garapan mereka.” Ujar Bu Zahra.
            PH Guide Art? Itu kan punya Om Rio sama saudaranya? Hmmm... sepertinya...
            “Aku terima GuideArt sama Grand Band!” Ujar Oik dengan mantap sambil sesekali tersenyum sendiri. Bu Zahra mengernyit heran dengan tingkah anak emasnya itu.Bu Zahra menghela nafas panjang.
            “Okay, nanti saya akan hubungi mereka dulu ya...”
            “Oke deh Bu!” Ujar Oik. “Aku mau ke ruangan Agni dulu ya Bu, sekalian membahas schedule aku yang lain.” Oik segera melangkah keluar ketika Agni menganggukkan kepalanya.

            ***

            “Kamu kejam Rob! Kejam!!!! Apa maksud kamu nyium dia di depan aku!!! APA???” Oiktampak menangis. Matanya memerah dan keadaannya kacau balau.
            “Kamu bilang kamu cinta aku!!! Kamu bilang kamu nggak akan ninggalin aku! Sekarang, apa maksud kamu ngelakuin ini Rob??? JAWAB!!!”
            “CUUUUUT!!!!”sebuah suara menyela perkataan Oik.
            Sutradara dan beberapa kru yang lain bertepuk tangan atas akting Oik yang cukup membuat mereka terpukau. Oik tersenyum senang sambil menghapus sisa airmatanya. Agni lalu datang menghampiri dan membantu Oik merapikan rambutnya.
            “Akting kamu bagus banget lo Ik, aku hampir nangis!” Ujar Agni sambil menyisir rambut Oik. Satu cubitan dari Oik mengenai pinggangnya.
            “Bohong banget!”
            “Ik, ajarin gue akting kayak tadi ya, scene berikutnya kan gue yang bakal nangis-nangis.” Ujar Ray lawan mainnya yang ia panggil ‘Rob’ tadi.
            Oik hanya tersenyum menanggapi perkataan Ray, kemudian mengacungkan kedua jempolnya kepada Ray.
            “Dia ganteng lho Ik, kamu nggak mau nyoba jalan sama dia?” Ujar Agni ketika Ray sudah mulai menjauh. Satu pukulan keras diterima oleh Agni.
            “Rese banget sih! Dia empat tahun lebih muda dari aku!” Ujar Oik.
            Agni menggelengkan kepalanya. “Serius deh Ik, kenapa ya semua cowo yang dekat sama kamu itu rata- rata lebih muda dari kamu.”
            “Nggak juga, buktinya Om Rio lebih tua tiga belas tahun dari aku.”
            “Itu beda cerita neng,”                  
            Oik mengedikkan bahunya lalu berjalan menuju kursi kayu yang berada beberapa meter darinya. Kemudian duduk lalu mulai membaca skenarionya kembali.
            “Eh, ngomong- ngomong soal Om Rio, PH- nya Om Rio nawarin kontrak ke kita lho,” ujarOik tanpa melepaskan pandangannya dari skenario yang berada di tangannya.
            “Oh ya? Seru dong kalau begitu kali aja Om Rio bisa bujuk produser kamu biar honor kamu dinaikin.” Ujar Agni lalu mengambil tempat disamping Oik.
            “Huss!Nggak mungkin lah Ni, lagian aku nggak ngarep kok.” Oik kembali menekuni skenarionya. Namun, beberapa saat kemudian ia kembali menurunkan skenarionya. Lalu menatap Agni.
            “Ni, tahu nggak, aku minta bantuan Om Rio untuk nyariin cowo buat aku.” Ujar Oik dengan suara yang bisa dibilang pelan.
            “Bagus dong, kali aja pilihan Om Rio bagus untuk kamu.” Ujar Agni yang kini tampak sedang membolak- balikkan sebuah majalah.
            “Mmm... Masalahnya aku minta dicariin cowo yang seumuran sama Om Rio.” Oik semakin memelankan.
            “WHAT???? SEUMURAN SAMA OM RIO????” Pekik Agni tanpa memperhatikan sekitarnya.
            “Sssttt!!!!Jangan keras- keras dong Ni! Nanti ada yang dengar, gosip langsung nyebar lagi.” Oik melirik kiri dan kanannya. “Aku Cuma ceritain ini sama kamu aja, ngga ada orang lain yang tahu selain kamu sama Om Rio.”
            “Tuhan juga tahu Ik,” timpal Agni. Oik menepuk jidatnya mendengar celetukan dari Agni.
            “Iya, iya terserah kamu aja. So, aku mau minta pendapat kamu,”
            Agni tampak berpikir keras. Lalu menatap Oik dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. Apa yang sedang dipikirkan oleh sahabatnya itu. Mencari laki- lakiyang seumuran dengan om- nya? Oik terkadang memang gila. Namun, kali ini adalah kegilaan Oik yang paling fatal. Berpacaran dengan laki- laki yang usianya akan terpaut kira- kira dua belas tahun dengannya? Oik menciptakan gosip bagi dirinya sendiri.
            “Agni!!!Hellooow!!!” Oik mengibaskan tangannya di hadapan wajah Agni. Membuyarkan lamunannya.
            “Kalau laki- laki itu baik, aku bakal dukung kamu kok Ik,” jawab Agni dengan singkat. Jujur saja ia masih shock dengan penuturan Oik tadi.
            Oik memamerkan deretan gigi putihnya lalu merentangkan kedua tangannya lebar- lebar untuk memeluk Agni.
            “Thank you so much Agniiii!!!! Makasih udah mau dukung aku! Hug me Agni!” Tanpa menunggu tanggapan Agni, Oik langsung memeluknya dengan erat. Agni sampai kehabisan nafas dibuatnya.
            “Yes..O.. Oik.. Itulah.. gunanya sahabat,” Agni tampak bersusah payah melanjutkan perkataannya. “So, bisa lepasin gue sekarang. Gue.. Bisa mati sebentar lagi kalau begini.”
            Oik segera melepaskan pelukannya lalu tersenyum manis di hadapan sahabat sekaligus manager yang sudah ia anggap seperti kakaknya itu.
            “Oik ayo! Kita mau take sepuluh menit lagi!” Panggil salah satu kru. Oik melambaikan tangannya.
            “Aku take dulu ya Ni, jagain handphone aku, dompet aku terus—“
            “Iya Oik, Iya... Semua barang- barang kamu aman sama aku, udah buruan sana, nanti sutradara marah lagi.” Ujar Agni. Oik menganggukkan kepalanya lalu meninggalkanAgni yang sudah larut dengan majalahnya.

            ***

            Rio sedang merapikan beberapa berkasnya ketika seseorang mengetuk pintu ruangannya.
            “Masuk... Pintu nggak dikunci,” jawab Rio.
            Pintu terbuka, seorang pria berbaju necis masuk ke dalamnya sambil melonggarkan dasinya. Rio mengalihkan pandangannya dan tersenyum melihat tingkah sepupunya itu.
            “Lo abis dari mana aja Kka???” Tanya Rio.
            “Habis meeting sama Zahra, kan salah satu artisnya bakal kita kontrak untuk sinetron terbaru kita nanti,” jawab Pria yang dipanggil ‘Kka’ itu.
            Rio kembali tersenyum melihat tingkah Cakka, sepupunya yang masih saja setia menyendiri diusianya yang kini menginjak tiga puluh dua tahun. Dari dulu Cakka selalu beralasan bahwa urusan perempuan itu merupakan urusan belakangan baginya, dan kali ini Rio membenarkan perkataan Cakka.
            Riomenerawang. Cakka merupakan pria ambisius, dengan mengantongi beberapa gelar,Cakka berhasil meraih kesuksesannya. Mempunyai sebuah Production House, beberapa restoran dan mengelola perusahaan advertising milik keluarganya. Bisa dibilang Cakka sudah sangat mapan. Tinggal masalah calon pendamping hidup yang belum mapan.
            Tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk mengenalkan Cakka kepada Oik. Kali saja mereka cocok, batin Rio.
            Rio segera menghampiri Cakka lalu duduk di sofa yang berada tepat di hadapan Cakka.
            “Ada sesuatu yang terjadi?” Tanya Rio.
            “No, gue cuma lagi berpikir artis yang bakal bekerjasama dengan kita itu kayak gimana,” ujar Cakka. Pandangannya menatap langit- langit ruangan milik Rio.
            “Dari management apa Kka???”
            “Nggak tahu, gue lupa namanya.” Ujar Cakka dengan cuek.
            “Mmm... Cakka, gue mau nanya satu hal ke lo,” ujar Rio. Cakka segera menegakkan punggungnya.
            “Tanya soal apa?”
            Rio menarik nafas sejenak, “lo udah punya cewe?”
            Pertanyaan Rio sukses membuat Cakka membulatkan kedua matanya, disusul dengan tawa kerasnya.
            “Gue tanya serius Cakka! Lo udah punya cewe atau belum?”
            Cakka masih menahan tawanya, “Belum, belum... Kenapa tanya begitu? Mau pacaran sama gue? Lo kan udah punya Ify Yo.”
            “Sialan lo! Gue nggak minat ngeliat lo,” ujar Rio sambil melempar bantal sofa yang berada di sampingnya.
            Cakka melanjutkan kembali tawanya. Kali ini bisa dikategorikan sebagai ‘Laugh out Loud’. Cakka belum berhenti sampai pada akhirnya Rio memutuskan untuk menegur Cakka.
            “Kka, udah deh ketawanya, gue mau ngomong serius.” Kata Rio dengan serius dan tatapan yang serius. Cakka berhenti tertawa dan mulai menunjukkan tampang serius juga.
            “Gue mau ngenalin lo sama keponakan gue.” Ujar Rio. Dan kali ini Cakka kembali tertawa. Rio menggeleng melihat tingkah sepupunya yang sedikit aneh ini.
            “Kka...”
            “Ups, sorry! Lucu aja, lo mau ngenalin gue sama keponakan lo, aduh, gue masih laku gitu, di usia gue yang nggak bisa dibilang teen lagi?”
            “Heh, lo kira lo barang dagangan apa? Gue serius, kebetulan dia juga lagi nyari....”Rio berhenti sejenak. Lagi cari pacar? Atau Lagi cari pendamping hidup? Ingat komitmen, Rio, batinnya.  “Pendamping hidup!”
            Cakka menatap Rio dengan pandangan bertanya, “Berapa umurnya?”
            “Mmm... dua puluh satu.” Jawab Rio dengan mantap.
            “Dua puluh satu? Mau cari pendamping hidup? Are you serious Rio?” Tanya Cakka tidak percaya.
            “Serius Kka, mmm... gini deh, lo kenalan aja dulu sama dia, PDKT gitu, kalau kalian merasa cocok bisalah dilanjutin kalau nggak, ya... gimana keputusan kalian nantinya,” ujar Rio.
            Cakka nampak berpikir. Rio sedang membantunya saat ini. Harus Cakka akui ia memang sedikit kesulitan dalam urusan perempuan. Alasan klise ia ingin sukses terlebih dahulu dalam mengejar karirnya, barulah urusan mengejar perempuan.
            “Lo yakin dia mau sama gue?” Tanya Cakka sekali lagi.
            “Gue rasa iya, soalnya dia lagi nyari laki- laki yang lebih tua dari dia,”
            “Alasannya???”
            “Ya, mana gue tahu Cakka, lo bisa tanya orangnya langsung begitu kalian kenalan nanti.” Ujar Rio. Cakka kembali berpikir, berkenalan dengan seorang gadis yang umurnya sangat jauh di bawahnya merupakan hal baru baginya. Selama ini ia dekat dengan perempuan yang seumuran dengannya, kalaupun lebih muda ya kira- kira satu sampai dua tahun di bawahnya.
            “Gimana Kka???” Tanya Rio membuyarkan lamunan Cakka.
            Cakka menghela nafas, “Okay, i will try... Kapan lo bisa ngenalin dia ke gue?”
            “Tunggu gue konfirmasi sama dia ya Kka, dia sibuk banget soalnya,” ujar Rio.
            Cakka hanya mengangguk tanda ia mengerti.
            “Oke deh, kalau begitu gue serahin semuanya sama lo..”
            Rio hanya tersenyum. Senang.

            ***

            Brio milik Oik berhenti di parkiran Rosette Cafe. Oik merapikan rambutnya sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Agni yang sedang tertidur.
            “Ni..Agni! Bangun, kita udah sampai.” Ujar Oik sambil mengguncang tubuh Agni dengan pelan.
            “Hn...”Agni menggeliat, tapi tidak kunjung membuka matanya.
            “Agni...”
            Denganperlahan Agni membuka matasnya, beberapa kali mengerjap lalu pandangannya beralih kepada Oik.
            “Udah sampai nih?” Tanya Agni sambil merapikan pakaiannya.
            “Udah...Kamu tidur kebo banget tahu! Ayo deh buruan, aku udah laper banget,” ujar Oiklalu melirik jam tangan putih yang melingkari tangannya. “Mana udah jam delapan lagi, bisa- bisa kita pulang sampai larut malam lagi.”
            Oik segera turun dari mobilnya begitu juga dengan Agni. Sebelum memasuki cafe Oikmengambil iPhone- nya, membuka aplikasi twitter dan mengetik sebuah tweet.

            @OikRmdlani at Rosette Cafe with my @Agniagni J
 
            “Ngetwett dulu mbak???” Tanya Agni sambil melirik jari- jari lentik Oik yang sedang menari diatas screen smartphone- nya.
            “Iya, kamu harus retweet nanti, awas kalau nggak!” Ujar Oik pura- pura mengancam.
            Mereka pun masuk ke dalam cafe yang sepertinya malam ini agak lengang. Oik melemparkan pandangannya ke segala penjuru cafe tersebut untuk melihat tempat duduk yang nyaman dan strategis.
            “Wah, ada mbak Oik tohh, mau dinner mbak???” Sapa pria bertubuh gempal yang merupakan manager cafe itu dengan ramah.
            “Nggak mas, saya mau creambath.” Jawab Oik sekenanya. Pria itu tampak tertawa begitu juga dengan Agni.
            “Wah sudah salah alamat dong kalau begitu mbak, mari saya tunjukkan tempat untuk anda...”
            Pria itu segera mengantar Oik dan Agni ke salah satu meja dekat jendela yang masih kosong. Pria itu menarik dua kursi dan mempersilahkan Oik dan Agni untuk duduk.
            “See, aku selalu suka di tempat ini karena managernya ramah banget,” ujar Oik setengah berbisik kepada Agni.
            Pria itu tampak memanggil salah seorang pelayan untuk membawakan daftar menu.
            “Silahkan dipilih dulu Mbak Agni, Mbak Oik... Saya pamit kembali ke tempat saya, permisi.” Ujar Pria itu sebelum meninggalkan keduanya yang sedang sibuk memilih daftar menu.
            “Ng,... Mbak.. Mbak Oik kan???” Tanya pelayan yang membawakan daftar menu itu dengan ragu. Oik medongakkan kepalanya lalu tersenyum.
            “Iya ada apa ya???” Oik balas bertanya. Wajah pelayan itu tampak sumringah.
            “Mbak Oik yang berperan jadi Atika itu kan? Aduh saya fans berat mbak lho,” ujar pelayan itu sambil mengulurkan tangannya ke arah Oik. Oik menerima uluran tangan tersebut dengan ramah. Agni yang melihatnya hanya tersenyum, dalam hati ia memuji sifat Oik yang humble dan low profile itu.
            “Boleh saya foto sama mbak?” Tanya pelayan itu lagi. Oik hanya mengangguk ramah sebagai jawabannya. Sekali lagi wajah pelayan itu tampak sumringah, ia segera merogoh saku celananya lalu mengeluarkan ponselnya. Agni dengan sigap menawarkan diri untuk mengambil gambar mereka berdua.
            “Oke deh, udah nih mas,” ujar Agni setelah acara ‘foto bareng’ dadakan itu selesai.
            “Makasih banyak mbak Oik, mbak Agni. Sekarang monggo dilanjut dulu baca daftar menunya.”Ujar pelayan itu. Agni dan Oik hanya menggeleng melihat tingkah pelayan itu.
            Tak sampai lima belas menit Oik dan Agni pun selesai memutuskan menu pesanan mereka. Pelayan tersebut mencatat pesanan keduanya dengan seksama.
            “Oke deh mbak, ditunggu ya kira- kira lima belas menit.” Ujar pelayan itu lalu pamit undur diri.
            Agni melirik pelayan yang semakin menjauh itu sebelum membuka percakapan mereka.
            “So... Om Rio udah ngasih tahu  ke kamu siapa laki- laki yang bakal dia kenalkan ke kamu?” Tanya Agni. Oik menggelengkan kepalanya. Agni mengernyit.
            “Info sedikit aja nggak ada? Mungkin namanya, umurnya, pekerjaannya gitu? Nggak ada?”Tanya Agni lagi.
            “Nggak ada Agni, Om Rio mau bikin surprise kali buat aku.” Jawab Oik lalu melemparkan pandangannya ke arah luar jendela.
            Agni melongo mendengar perkataan Oik. “Ya, mudah- mudahan yang dikenalin Om Rio itu bukan ‘pemuda tua’ berperut buncit berkepala botak!” Ujar Agni sarkastis. Oik mendelik tajam ke arah Agni.
            “Kamu kok tega nyumpahin aku sih Ni! Ih... jahat ih!!!” Pekik Oik sambil mencubit tangan Agni.
            Agni meringis kesakitan. Ia segera menarik tangannya lalu mengusapnya pelan.
            “Biarin! Habisnya kamu kok bisa sih, sebegitu santainya, padahal kamu belum kenal sama sekali dengan laki- laki yang bakal dikenalin sama Om Rio.”
            Oik menghela nafas. “Agni yang cantik, kamu mikir dong nggak mungkin Om Rio ngenalin cowo yang kamu sebutin tadi tipenya ke aku, memangnya Om Rio itu nggak tahu apa tipe cowo aku?” Ujar Oik sedikit kesal. Agni hanya mengedikkan bahunya.
            Tak lama kemudian pesanan mereka pun datang, mereka bersantap dengan damai dan hening sebelum tiba- tiba...

            PRANGGG!!!!

            Suara piring pecah. Oik mengalihkan pandangannya ke sumber suara dan mendapati seorang anak kecil sedang menangis karena piring yang berisi makanannya terjatuh. Seorang pria berdiri di sampingnya tampak sedang memarahi.
            “Aduh, Bagas... Om bilang juga apa, hati- hati dong bawa makanannya, ck.. kamu ini bikin repot om aja sih!” Ujar pria itu sambil memungut pecahan piring itu sambil dibantu oleh pelayan yang lain.
            “Makanya jangan hobi lari- larian! Om aduin ke mama kamu nanti.” Anak kecil itu semakin memperkeras suara tangisnya. Oik yang tak tahan mendengar suara tangisan, akhirnya memutuskan untuk menemui pria dan anak kecil itu.
            “Nangis aja lagi yang kencang!” Pria itu menggeram kesal sambil meremas rambut hitam legamnya itu.
            “Permisi mengganggu, saya dengar dari tadi anda memarahi anak kecil ini saja, ada masalah apa?” Tanya Oik berusaha ramah. Pria itu menatap Oik tidak suka.
            “Bukan urusan anda,” jawab pria itu dengan singkat.
            Oik mengernyit. Sombong. Itu penilaian Oik yang pertama untuk laki- laki yang berada di hadapannya ini. Oik membelai rambut anak  kecil itu dengan penuh kasih.
            “Udah kamu jangan nangis lagi, malu dilihat banyak orang. Lagi pula pecahan piringnya sudah dirapikan kok,” bujuk Oik. Ia menatap anak laki- laki itu dari atas sampai ke bawah. Dan...
            “Pantas aja kamu jatuh, tali sepatu kamu terbuka ikatannya. Aduh, siapa yang ikat ini sih belum lulus cara ngikat sepatu kali ya?” Ujar Oik lalu merunduk mengikat tali sepatu anak kecil itu.
Pria itu tampak tersindir dengan perkataan Oik. Tadi sebelum berangkat kesini ia lah yang mengikat tali sepatunya Bagas, keponakannya itu. Dan ternyata tanpa mereka ketahui ikatannya terlepas.
            Oik segera berdiri begitu selesai mengikat tali sepatu anak itu.
            “Mas tadi yang ngikat tali sepatunya  ya?Berarti mas yang salah dong, kenapa mas marah- marahin dia?” Ujar Oik dengan nada ketus. Tiba- tiba saja pria itu merasa kesal karena Oik sudah mencampuri urusannya.
            “Mbak, dia  kan keponakan saya, terserah saya dong mau marahin dia atau nggak? Mbak nggak usah ikut campur deh...” Ujar pria itu sambil merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa lembar kertas berwarna merah dan meletakkannya di atas meja nomor empat belas.
            “Saya nggak ikut campur, hanya mau membenarkan aja, keponakan anda ini nggak pantas anda marahi, dia masih terlalu kecil.” Jawab Oik. Kini seluruh pengunjung cafe tersebut mengalihkan pandangan mereka ke arah Oik dan pria itu.
            “Lho, itu kan Oik Ramadlani!” Ujar salah satu pengunjung di situ.
            “Iya, ya... berantem kenapa tuh?” ujar salah satunya lagi.
            Semua pengunjung berkasak- kusuk tentang keributan Oik dan pria itu. Namun, seperti tidak menyadari kedua orang tersebut masih saja melanjutkan pertengkaran mereka.
            “Aduh, nggak ada untungnya berdebat sama mbak, Bagas ayo kita pulang. Kita makan malam di rumah aja.” Ujar pria itu sambil menarik lengan anak kecil yang sedang dirangkul oleh Oik. Anak kecil tersebut menurut saja.
            “Tante, jangan marah ya, Om Cakka memang gitu orangnya suka ngeselin.” Ujar anak kecilitu sebelum meninggalkan Oik, pergi dengan Om- nya.
            “Ca...kka? Oh, jadi namanya Cakka...” Gumam Oik.

            ***

            “Aduh.. Kamu gila banget tahu tadi Ik, untung aja tuh cowo mau ngalah langsung pulang! Gimana kalau dia nuntut kamu ke manager cafe dan kita dilarang makan di cafe itu.” Ujar Agni. Sepanjang jalan Agni tidak berhenti mengoceh semenit pun.Salah Oik juga sih, sudah membuat Agni ketar- ketir di bangkunya.
            “Ya udah deh Ni, sekarang kita udah nggak di cafe itu lagi dan managernya nggak ada ngomong apa- apa ke kita, jadi woles aja lagi..” Ujar Oik sambil tetap berkonsentrasi kepada jalanan yang berada di hadapannya.
            Agni menatap Oik lama sebelum menggeleng putus asa. Ia segera menyandarkan kepalanya ke bantalan jok. Perlahan ia mulai memejamkan matanya. Oik melirik sekilas.
            “Okay,aku minta maaf, aku salah! Tadi aku nggak bisa kontrol emosi aku, sorry...”Ujar Oik. Agni hanya mengangguk. Kali ini Oik yang menatap Agni putus asa.
            “Mmm... schedule aku besok apa aja” Tanya Oik berusaha mengalihkan topik. Dengan sigapAgni menegakkan tubuhnya, membuka tas nya dan mengambil tabletnya untuk memeriksa schedule Oik.
            “Pemotretan di BridalMagazine jam setengah delapan pagi,” ujar Agni. “Meeting dengan Bu Zahra serta Executive Producer dari GuideArt Production House, terus Meeting sama Pak Aryo untuk membahas habisnya kontrak kamu dengan PH mereka.”
            Oik mengangguk, schedule- nya besok cukup padat. Ia memutuskan untuk tidur lebih awal nanti. Sekali lagi Oik melirik Agni yang kelihatannya sudah tertidursetelah membacakan schedulenya tadi.
            Oik tersenyum, beruntung ia mempunyai Agni sebagai managernya.

            ***

            Pagi-pagi sekali Cakka sudah terbangun dari tempat tidurnya, pukul sembilan nanti ia akan melakukan pertemuan dengan Zahra dan artisnya yang akan mengikat kontrakdengan PH- nya. Dalam hati Cakka berharap artis yang dibawa Zahra nanti cantik, lembut, humble, ramah, dan berwawasan luas, dan yang terpenting usianya sama dengan atau mendekati usia Cakka.
            Ya, Selain untuk bekerja sama Cakka juga sudah berencana untuk flirting dengan siartis nantinya. Itupun kalau artisnya itu memenuhi kriteria di atas. Cakka tersenyum kecil. Semoga saja semuanya berjalan sesuai keinginannya. Tiba- tibadipikirannya terlintas sosok gadis yang berdebat dengannya semalam di cafe.Cakka menghembuskan nafasnya. Gadis itu cantik. Sangat cantik malah, mata hazelnya, bibir tipis yang cukup menggoda, rambut ikalnya, dan lekuk tubuhnya. OMG! Membayangkan itu saja Cakka sudah gerah sendiri. Tapi apa boleh buat,gadis itu sudah menghancurkan penilaiannya dengan semua perdebatan mereka semalam.
            “Semoga gue nggak ketemu sama dia lagi.” Batin Cakka. Ia pun memutuskan untuk segera menuju kamar mandi dan mempersiapkan dirinya dengan sebaik- baiknya.

            ***

            Oik kembali mematut dirinya di cermin, lalu sedetik kemudian sebuah senyum terukir di wajahnya. Hari ini Oik akan menandatangani kontrak dengan PH Guide Art,semoga saja Om Rio ikut, batin Oik senang.
            Setelah merasa yakin dengan penampilannya Oik segera menyampirkan tas di lengan kanannya lalu beranjak meninggalkan kamarnya sambil sesekali bersenandung kecil. Dalam hati ia berharap bahwa Executive Producer yang akan ia temui nanti berwajah tampan, cool dan pastinya harus seumuran dengannya atau dua sampai tiga tahun di atas umurnya. Seandainya ia bisa flirting dengan rekan kerjanya, semua akan lebih mudah kan? Ia bisa membatalkan permintaannya kepada Om Rio beberapa waktu lalu.
            Begitu tiba di garasinya Oik segera memasuki Brio- nya lalu menyalakan mesinnya dan tanpa menunggu lama ia sudah meninggalkan pelataran rumahnya.

            ***

            “Jadi, kalau misalnya artis kami ini menerima tawaran kerja sama dengan PH anda, kira-kira akan berapa sinetron yang harus ia penuhi?” Tanya Bu Zahra sambil menyesap kopi yang ada di genggamannya sedari tadi.
            “Nanti bisa kita lihat di kontrak, saya sih berharap dia tidak cuma sekali saja bermain sinetron di PH saya,” Ujar Cakka sambil tersenyum penuh arti.
            Bu Zahra hanya mengangguk mengerti. Sementara Cakka berusaha melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Ditambah keadaan langit kota Jakarta tidak mendukung. Panasnya minta ampun! Cakka menyesal sudah memilih jas berwarna hitam sebagai busananya hari ini.
            “Nah, itu dia artis kami sudah datang...” Ujar Bu Zahra. Cakka mengarahkan pandangannya ke arah pintu masuk dan mendapati seorang gadis bergaun putih selutut sedang berjalan ke arah mereka. Cakka tidak bisa mengenalinya lantaran gadis itu memakai kacamata hitam. Cakka mengamati gadis itu dengan lekat. Mirip seseorang.
            Sesampainya gadis itu di hadapan Bu  Zahra, gadis itu langsung memeluk wanita yang menjadi pimpinan management- nya itu. Hubungan yang cukup dekat, batin Cakka ketika melihat kedekatan mereka berdua.
            Gadis itu tersenyum pada Bu Zahra, Cakka terpana melihat senyumnya. Namun, kelihatannya gadis itu belum merasakan kehadiran Cakka.
            “Nah Oik ini dia Executive Producer dari GuideArt yang akan bekerja sama dengan management kita.” Ujar Bu Zahra, Oik mengalihkan pandangannya ke arah Cakka yang sedang berdiri termangu di samping Bu Zahra. Karena kurang jelas akibat kacamata hitamnya, Oik segera melepasnya. Dan betapa terkejutnya ia mendapati sosok yang berada di hadapannya sekarang ini.
            Begitu juga dengan Cakka, gadis yang tidak ingin ia temui saat ini sedang berada dihadapannnya, dan akan menjadi artis yang dikontraknya? What the hell? Namun, bukan Cakka namanya kalau tidak bisa bersikap profesional. Ia segera tersenyum pada Oik, senyum yang dipaksakan tentunya. Dalam hati ia pun meragukan keinginannya untuk flirting dengan si ‘artis’ lantaran sudah tahu siapa‘artis’- nya.
            Oik pun seperti itu, ia membalas senyum Cakka juga dengan terpaksa bercampur rasa kikuk. Bu Zahra yang kelihatannya tidak menyadari ketidak beresan di antara mereka berdua langsung menyuruh mereka duduk.
            “Nah, sekarang mari kita bahas kontrak kita.” Ujar Cakka sambil menatap lembaran kertas yang berada di hadapannya.
            “Ngomong- ngomong kamu mau pesan apa Oik?” Tanya Bu Zahra.
            “Jus terong Belanda ada bu?”
            Bu Zahra segera memanggil waitress yang kebetulan lewat, lalu mengatakan pesanan Oik.
            Bu Zahra kembali terpusat kepada lembaran kontrak yang akan ia tanda tangani bersama Oik dan Cakka. Sementara Oik yang merasa canggung lebih memilih memainkan iPhone- nya mengetik sebuah pesan kepada Agni.

            To: Agni
            Agni, kmu ga akan percaya dgn apa ygaku lihat hari ini.
            From: Agni
            Ada apa memangnya?

            “Oik, kamu belum kenalan resmi kan sama Cakka?” Ujar Bu Zahra. Oik segera mendongakkan kepalanya. Begitu juga dengan Cakka. Mereka pun saling melirik. Untuk beberapa saat mereka terdiam.
            “Oik,” Oik mengulurkan tangannya. “Oik Ramadlani.”
            “Cakka,” Cakka menerima uluran tangan Oik. Sesaat nafasnya tercekat. Kulit Oik sangat halus dan lembut, benar- benar seorang artis, Cakka membatin. Dari jarak yang hanya dibatasi meja bulat itu, Cakka bisa mengamati Oik lebih lama. Benar saja,mata hazelnya, bibir tipisnya dan riasannya yang tidak terlalu menor mampu membuat cakka ketar- ketir. “Cakka.. Nuraga.” Ujar Cakka dengan susah payah.
            Keduanya segera melepaskan tangan mereka. Bu Zahra tersenyum senang.
            “tapi ngomong- ngomong, kalian serasi ya, Cakka pakai baju hitam, Oik pakai baju putih.” Ujar Bu Zahra. Cakka dan Oik segera mengalihkan pandangan mereka.
             Benar, Dalam hati Oik merutuki kesalahannya memakai gaun putih hari ini.
            “Kita berasa di acara perjodohan daripada tanda tangan kontrak.” Lanjut Bu Zahra tanpa memperhatikan perubahan wajah Cakka dan Oik.
            “Ehemm... Bagaimana kalau kita langsung membicarakan kontrak.” Ujar Cakka sambil membagikan lembaran kertas kepada Oik dan Bu Zahra.
            Bu Zahra segera menghentikan aksi cerocosnya lalu mulai berkutat kembali. Oik memilih untuk meminum jus pesanannya yang baru saja datang.
            Worst day, batin Oik.

            ***

            Cakka memasuki kediaman Rio yang tampak sepi. Kemana semua orang?
            “Rio!!!!Yo!!!! Mario!!!” Cakka berteriak.
            Seorang pelayan tampak menghampiri Cakka.
            “Tuan sedang mengantar nyonya ke rumah ibunya, sebentar lagi juga sampai.”
            Tepat setelah pelayan tersebut mengatakan hal itu, Rio sudah muncul dari arah pintu masuk.
            “Lho Cakka? Tumben datang kesini malam- malam”
            “Gue badmood banget Yo,” Ujar Cakka. Rio hanya tersenyum mendengar ucapan Cakka. Ia pun mengajak Cakka untuk duduk di gazebo rumahnya.
            “Mau minum apa Kka?” Tanya Rio.
            “Hot chocolate boleh?” Rio segera memanggil pelayannya.
            “Ify mana Yo?” Tanya Cakka sambil memperhatikan sekelilingnya.
            “Dirumah mamanya, dia kangen mamanya katanya, ya udah aku antar aja dulu. Besok aku jemput dia lagi.” Jawab Rio. Cakka hanya mengangguk.
            “Sekarang cerita kenapa lo badmood gitu,” Ujar Rio. Cakka menghembuskan nafasnya. Ia pun menceritakan pertengakaran dengan Oik di cafe, sampai dengan penanda tanganan kontrak.
            “Gue nggak nyangka gitu, dia artis yang bakal dikontrak sama PH kita. Rasanya gue pengen batalin tuh kontrak cuma nggak mungkin dong, gue nggak profesional kalau begitu kan?” Rio mengangguk membenarkan perkataan Cakka.
            “Udahdeh, mendingan lo nggak usah badmood lagi, hari ini gue mau ngenalin keponakan gue ke lo waktu itu.”
            Cakka mengangguk. Mungkin ia harus membatalkan recananya untuk flirting dengan Oik dan mencoba pendekatan dengan keponakannya Rio, mungkin bisa sedikit memperbaiki mood- nya hari ini.
            “Memang dia mau datang sekarang?”
            “Iya,” ujar Rio sambil mengangguk. “Dia bilang lagi ada masalah sama pekerjaannya. Lucuya kalian berdua kayaknya sehati banget udah badmood bareng- bareng hari ini, jangan- jangan kalian jodoh lagi.”
            Cakka hanya tersenyum tipis mendengar perkataan Rio. Tidak sampai beberapa menit bel rumah Rio berbunyi.
            “Om Rio!!! Om Rio!!! Om Rioooooo!!!!”
            Rio tertawa kecil, “Nah itu dia Kka, dia memang gitu suaranya agak cempreng terus suka banget teriak- teriak.” Ujar Rio.
            “Di gazebo!!!” Balas Rio. Beberapa menit kemudian terdengar derap kaki yang semakin mendekati gazebo.
            “Om Rio tahu nggak hari ini aku badmood ba—“ Oik menghentikan kalimatnya begitu melihat sosok Cakka yang sedang duduk di samping Rio. Dia lagi? Batin Oik berteriak.
            Cakka menatap Oik sama terkejutnya. Diakah keponakan Rio yang akan dikenalkan sepupunya ini? OMG!
            “Oik sini, ngapain melongo disitu sini duduk di samping Om,” ujar Rio sambil menepuk kursi yang berada di sampingnya.
            Dengan ragu Oik berjalan menuju Rio dan Cakka, diiringi tatapan tajam dari Cakka.
            “Nah, Oik kenalin ini Cakka.”
            Oik hanya tersenyum ke arah Cakka lagi- lagi dengan canggung.
            “Dia yang mau Om kenalin ke kamu. Dia sepupu terbaik Om.”
            “WHATTTTT???”Pekik Oik dan Cakka secara bersamaan. Rio menatap keduanya heran.
            “Sama dia Om?” Tanya Oik yang masih belum bisa menerima kenyataan.
            “Iya, kamu nyari yang lebih tua, dan voila! Ini dia Cakka Nuraga, umurnya tiga puluh dua tahun, mapan dan paling keren sekantor!” Ujar Rio mempromosikan Cakka. Oik melengos , mengalihkan pandangannya ke arah lain.
            “Nah Cakka ini Oik, keponakan aku yang lagi nyari pendamping hidup. Umurnya dua puluh satu cantik, pintar, dan artis paling berbakat!” Kali ini Riomempromosikan Oik.
            “Aku udah kenal sama dia! Dia orang paling rese yang pernah aku temui.” Ujar Cakka dan Oik yang entah kenapa bisa bersamaan. Rio menatap keduanya heran.
            Cakka dan Oik saling bertatapan. Tatapan permusuhan. Bekerja sama dalam satu kontrak sudah cukup membuatnya kesal setengah mati. Dan sekarang mereka harus PDKT???
            “By the way kalian serasi ya, Cakka pakai baju warna hitam, Oik pakai baju warna putih? Saling melengkapi dong!” Ujar Rio. Keduanya mengalihkan pandangannya,dan mengeluh. Hitam dan putih.
            Itu jelas menggambarkan mereka berbeda.

            ***
            “—You and I are black and white. I’m hot and you’re cool—“
            ***