Yogyakarta, bandara Adi Sucipto Selasa 13 Juli 2012
.
.
.
Oik
menjejakkan kakinya di lantai bandara sambil menggeret kopernya,
dibelakangnya seorang pria sibuk mengutak- atik kamera DSLR miliknya,
memutar- mutar lensanya sambil sesekali membersihkannya.
“Ray, lo bisa cepat sedikit ga sih???” Ujar Oik setengah membentak, ia
nampaknya kesal dengan tingkah sahabatnya yang memang terbilanag lamban
dalam melakukan segala sesuatu.
“Iya ik, iya...” jawab
pria yang dipanggil ‘Ray’ itu, Kemudian ia menggantungkan tali kamera
itu di lehernya dan segera berlari kecil mengejar Oik.
Oik dan pria yang ternyata bernama Ray itu pun, segera berjalan menuju
pintu kedatangan, terlihatlah hiruk pikuk bandara tersebut. Ada yang
hendak mengantarkan sanak saudaranya, sebaliknya ada juga yang menunggu
kedatangan sanak saudaranya.
“Yogyakarta, aku datang lagi...” Batin Oik sambil tersenyum.
“Ik, sebenarnya kita mau kemana sih???” Tanya Ray yang kini sedang sibuk BBM-an dengan Kakaknya.
Oik tetap diam, ia terus berjalan membelah keramaian bandara tersebut,
Ray yang bingung akhirnya memilih untuk diam dan mengikuti langkah
Oik. Sesampainya di luar bandara, Oik memberhentikan sebuah
taksi, keduanya pun segera masuk ke dalam taksi tersebut dan dalam
hitungan detik, taksi tersebut pun melesat meninggalkan bandara.
***
“Hhhhfttt... capek....” Ujar Oik dan langsung merebahkan diri di atas
spring bed hotel tersebut. Ray masih dengan kesusahannya menggeret dua
buah koper, miliknya dan milik Oik.
“Kita mau ngapain ke Jogja Ik????” Tanya Ray lagi, kini Oik langsung bangkit lalu duduk di tepi ranjangnya.
“Kita mau ketemu Cakka...”
“Ohyaa??? Serius Ik???? Wahhh, gue jadi ga sabar Ik, pengen ketemu cowo
yang lo bilang sempurna itu,” ujar Ray sambil tersenyum, Oik hanya
mengangguk lemah.
“Tapi, perjalanan kita besok ke
tempatnya Cakka gue sambil cerita aja yaa.. kesannya gue nostalgia gitu
ingat masa- masa gue sama dia,” tambah Oik lagi. Ray hanya mengangguk.
“Oke deh Ik, gue mau ke kamar gue dulu yaa, nanti malam kita makan
malam di luar aja ya...” Pamit Ray lalu kemudian keluar dari kamar Oik.
Oik kembali termenung mencoba memutar memori masa lalunya antara ia
dengan laki- laki yang bernama Cakka itu.
***
“Kita mulai rutenya dari mana nih, Ik??” Tanya Ray yang sudah siap
dengan penampilannya, perlengkapannya dan tidak lupa kamera
kesayangannya.
“just follow me, okay???” ujar Oik sambil mengerlingkan matanya.
Mereka pun berjalan menyusuri trotoar yang terdapat di jalan besar itu.
Para pedagang kaki lima mulai menjajakan barang dagangannya ketika
mereka berdua melewati para pedagang tersebut, sesekali Ray memotret
fenomena sosial yang ada dihadapannya itu.
Sampai pada akhirnya tibalah keduanya di depan sebuah kios penjual bunga, Oik seakan diajak mem- flashback kenangan yang terekam di memori otak belakangnya, ya, disini awal pertemuannya dengan dia...
“Permisi mbak, bunga anggrek bulannya masih ada???” Tanya Oik kepada perempuan penjaga kios bunga tersebut.
“Wahh, kebetulan mbak, tinggal satu lagi ini..” Jawab si penjual itu
sambil hendak menyerahkan satu buket anggrek bulan itu kepada Oik. Belum
sampai bunga itu ke tangan Oik, sebuah tangan lain langsung menyergap
bunga itu.
“Ehhhh, mas!!! Itu saya duluan
yang beli, ga boleh seenaknya ngambil dong,” ujar Oik dengan kesal.
Laki- laki yang mengambil bunga itu langsung mengalihkan pandangannya
kepada sosok yang sedang cemberut di hadapannya.
“Emang situ sudah kasih uangnya sama mbak ini?? Belumkan???” Balas laki- laki itu dengan sengit.
“Aduh, please.. balikin bunga itu deh, bunga itu udah gue incar- incar
dari dulu..” Ujar Oik kali ini dengan nada memelas. Laki- laki itu
nampak berpikir sambil memandangi Oik dari ujung kaki sampai ujung
kepala.
“Oke saya akan kembalikan bunga ini tapi ada syaratnya mbak.” Ujar Laki- laki tersebut.
Oik nampak terkejut dengan penawran si laki- laki tak tahu etika itu,
tapi apa boleh buat ia harus mau jika ia ingin bunga itu kembali ke
dalam tangannya.
“Syaratnya apa?”
“Syaratnya kita kenalan dulu! Nama aku Cakka.. nama kamu???” Ujar laki-
laki bernama Cakka itu, sambil mengulurkan tangannya ke arah Oik.
Dengan ragu Oik menerima uluran tangan tersebut sambil menyebutkan namanya. “Oik. Oik Ramadlani”
“Nama yang unik, boleh minta nomor kamu kan???” Tanya Cakka sekali lagi. Kali ini Oik menggeleng cepat.
“Ya udah kalo ga mau, bunga ini ga bakal balik ke kamu,” ujar Cakka
siap- siap menyerahkan uang kepada penjual bunga tersebut.
“Eeeeee... jangan.... jangan...! oke gue bakal kasih nomor gue
08562345xxxx” Ujar Oik menyebutkan digit nomor handphonenya, sementara
Cakka mencatatnya di notes kecilnya.
“Siiippp
deh, nih bunganya,” ujar Cakka sambil memberikan bunga itu kepada Oik
lalu menyerahkan selembar uang seratus ribu kepada si penjual bunga itu.
Oik tambah shock, namun ia tidak bisa protes karena Cakka sudah berlari
meninggalkannya.
“Wahh, seru banget pertemuan lo
sama si Cakka, baik banget dia yaa...” Ujar Ray setelah mendengar
cerita Oik. Ia langsung mengambil gambar kios penjualan bunga tersebut.
“Semenjak itu Cakka jadi rajin sms gue bahkan telepon gue....” Ujar oik dengan pelan.
“Pantesan lo kayaknya cinta mati sama dia, pertemuan lo sama dia aja beuhh, so sweet deh menurut gue.”
Oik hanya tersenyum pahit, mengingat kenangan itu. Perlahan ia
merasakan matanya mulai memanas dan butiran- butiran air mengalir keluar
dari kedua matanya. Ia terisak sambil menahan perih yang ia rasakan di
hatinya. Ray langsung menghentikan kegiatannya memotret ketika ia
mendengar suara isak tangis dari Oik.
“Lhaaa.. kok lo
nangis sih Ik???” Ujar Ray sambil mengelus- elus pundak Oik. Ia menarik
Oik ke dalam pelukannya berharap Oik sedikit lebih tenang. Beberapa
menit kemudian Oik melepaskan dirinya dari pelukan Ray dan langsung
menghapus airmatanya.
“Jiahh, lo pasti terharu inget
perkenalan kalian, sampe nangis gini...” Ujar Ray sambil sedikit
tertawa. Oik hanya tersenyum.
“Hahaha iya kali yakk, mata gue ga bengkak kan Ray??” Tanya Oik.
Ray menggelengkan kepalanya lalu kembali mengelus pundak Oik.
“Yokk, kita lanjutin perjalanan kita..” Ajak oik. Mereka kembali
menyusuri trotoar tersebut. Kemudian, Oik memberhentikan sebuah becak
dayung.
“Hahh??? Lo ga lagi stress kan Ik?? Kita naik
becak???” pekik Ray tertahan. Sementara Oik hanya mengangguk sambil
tersenyum.
“Sejak kapan lo mau naik becak?? Di Jakarta
hampir setiap hari gue lihat lo gonta ganti mobil dan ga pernah gue
lihat sekalipun lo naik becak...” Ujar Ray yang masih terkejut.
“Udah deh naik aja.. seru tahu jalan- jalan naik becak..” Ujar Oik lalu
kemudian duduk di bangku becak tersebut. Ray masih berdiri sepertinya
ia masih enggan untuk mengikuti Oik.
“Apa ini semua gara- gara Cakka???” Tanya Ray sambil kemudian duduk di samping Oik.
Oik hanya mengangguk kecil.
“Cakka, lo mau ngajak gue kemana???” Tanya Oik dengan penasaran.
“Lo maunya kemana?” Cakka balik bertanya.
Oik hanya mendecak kesal, dalam hati sebenarnya ia ingin memaki- maki
Cakka, tapi entah kenapa htinya sepertinya bertolak belakang dengan
pikirannya.
Cakka memberhentikan sebuah becak dayung. Dan sedetik kemudian Oik langsung memekik keras.
“WHATTT??? Lo mau ngajak gue naik becak??? No, Don’t hope it...”
“Come on Ik, ini seru! kamu bakal bisa melihat bahkan menyapa orang- orang kalo kamu naik becak..”
Merasa tidak akan memenangkan perdebatannya, Oik pun mengalah dan
langsung duduk di bangku becak tersebut. Sesekali tangan mungilnya
melakukan gerakan mengipas ke arah wajahnya.
“Kepanasan ya???” Tanya Cakka dengan lembut.
“Banget!!! Seumur- umur gue belum pernah naik becak!” Jawab Oik dengan
kesal, kemudian ia pun mengambil tissue dari dalam tas kecilnya lalu
mengelap wajahnya yang sudah banjir keringat.
Cakka hanya tertawa kecil melihat tingkah Oik, selama di perjalanan
Cakka berusaha ramah pada setiap orang yang dilihatnya, dengan tersenyum
bahkan menegur orang itu. Oik cukup menganga dibuatnya.
“Cakka lo sok tebar pesona banget sih????” Ujar Oik sambil mencubit
lengan Cakka, Cakka tampak meng- aduh, namun, sedetik kemudian ia
tertawa.
“Hahahaha... Oik, oik.... itu bukan
tebar pesona namanya, itu namanya ramah,” jawab Cakka sambil mengacak
poni Oik dengan lembut.
“Wesssss..... mantep
juga dia, sukses bikin lo jadi orang paling ramah di komplek,” ujar Ray
sambil tetap memotret suasana dijalan kota tersebut. “Padahal kita sama-
sama tahu kalo lo tuh, orang paling anti sosial yang pernah gue temui,”
tambah Ray lagi dan kali ini disambut sebuah cubitan halus dari Oik di
pingangnya.
“Ray, lo rese banget yaaa...”
***
Oik segera membuka sendalnya lalu berlari di atas hamparan pasir putih
pantai tersebut, dan tanpa disadarinya kamera milik Ray sedari tadi
terus membidik senyumnya dan wajahnya tentu saja.
“Ray!!!! Sini!!!!!” Ujar Oik setengah berteriak karena posisi mereka
memang sudah agak jauh. Ray segera melepas sendalnya dan berlari menemui
Oik.
“Disini ada cerita apa Ik????” Tanya Ray sembari mengambil beberapa gambar dari sudut pantai ini.
Oik tersenyum malu,
Cakka
menarik Oik sampai ke tengah pantai tersebut, pasirnya yang putih dan
udaranya yang menyejukkan memang menjadi ciri khas tersendiri pantai
itu. Oik bertanya- tanya mengapa Cakka mengajaknya ke tengah pantai yang
pada saat itu sedang panas- panasnya, kelihatannya sih, matahari itu
sedang menantang manusia untuk melawan sinarnya.
“Aduh, Cakka... lo mau ngapain sih ngajak gue ke tengah- tengah?? Panas
tahu!!! Lo liat tuh matahari lagi marah...” Oik mulai meracau, Cakka
hanya tertawa kecil mendengar perkataan Oik.
“Would you be my girlfriend???” Ujar Cakka dan sukses membuat mata mungil Oik membulat.
“Aa... aa... ap.. apa???”
“Would you be my girlfriend Oik Ramadlani????” Kali ini Cakka berusaha
meyakinkan Oik dengan menggenggam kedua tangannya.
“Kenapa lo bilang gitu??? Sejak kapan lo suka sama gue???? Dan kenapa
lo suka sama gue????” Pertanyaan bertubi- tubi itu berhasil diungkapkan
Oik setelah ia benar- benar berhasil mengembalikan nyawanya.
“Karena aku suka sama kamu, sayang sama kamu, dan cinta sama kamu. Kamu
ga perlu tahu mulai kapan aku suka sama kamu yang perlu kamu tau rasa
yang ada di hati aku sekarang itu bakal tetap ada sampai kapanpun,
dan... kenapa aku suka sama kamu.. yaaa... karena kamu adalah Oik, Oik
yang benar- benar bisa membuat hariku berwarna dan bervariasi I Love
You..” Ujar Cakka dan kali ini Oik benar- benar speechless dibuatnya.
“Gimana Ik????”
Oik hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum malu, sejujurnya ia
memang sudah menyukai Cakka sejak pertemuan pertamanya, jadi ia memang
sangat mengharapkan moment seperti ini.
“Oh
iya, satu lagi pertanyaan kamu kenapa aku bawa kamu ke tengah ini
adalah.. supaya Matahari tahu, awan tahu, dan laut pun tahu kalau saat
ini aku memberikan cintaku hanya untukmu....” Ujar Cakka sekali lagi.
Oik mendongakkan kepalanya dan mendapati Cakka sedang menatapnya dalam,
perlahan namun pasti Cakka mendekatkan wajahnya ke wajah Oik yang kini
sudah mulai menutup matanya dan beberapa detik kemudian Oik merasakan
sesuatu yang lembut, basah dan manis sedang menekan dan melumat halus
bibir mungilnya. Yaa.... Cakka menciumnya dan ini merupakan first kiss
nya.
Setelah beberapa menit kedua bibir itu
bertaut mereka pun saling melepaskan dan kemudian sama- sama tertunduk
malu, Cakka langsung menarik Oik ke dalam pelukannya lalu membisikkan
sesuatu di telinga Oik.
“You’re my first lady, you’re my first love, and you’re my first kiss I love you,”
“I love you more.” Balas Oik.
“Cieeee... cieee... baru jadian langsung kiss- kiss- an, hahahahaiii... by the way
kata- katanya yang bilang karena kamu adalah Oik itu, gue suka banget!
Itu berarti dia memang benar- benar mencintai lo apa adanya, lo
beruntung kenal sama dia...” Ujar Ray sambil sedikit menggoda Oik.
“Sangat beruntung malahan Ray, gue ga pernah sebahagia itu
sebelumnya...” Ujar Oik sambil memandang lurus ke laut yang ada
dihadapannya.
Ray memalingkan wajahnya ke arah Oik. Perlahan ia mendekatkan wajahnya ke wajah Oik dan...
Cuppp..
Ia mencium pipi kanan Oik dan segera berlari meninggalkan Oik yang sudah berteriak- teriak memanggil namanya.
“RAAAYYY GILAAA!!!! Sini lo!!!! Aaaa, lo ngapain cium pipi gue tanpa
izin???? Awas lo yaaa!!!” Ujar Oik sambil mulai mengejar Ray yang tampak
sedang memotret dirinya.
***
Jam
menunjukkan pukul 12.30 tanpa terasa mereka sudah berkeliling setengah
hari menyusuri tempat- temapt menarik di Yogyakarta.
“Makan siang dulu yuk Ik, laper nih....” Ujar Ray sambil memegangi perutnya yang sedari tadi sudah keroncongan.
“Ayo ikut gue, gue tahu tempat makan paling enak di jogja..” Ujar Oik
lalu mulai berjalan meninggalkan Ray. Selama perjalanan Ray hanya bisa
mengeluh karen memang perjalanannya cukup jauh dan melelahkan.
Akhirnya tibalah mereka di sebuah warung makan sederhana, mereka pun
masuk ke dalamnya dan mulai duduk bersila di atas sebuah lesehan yang di
alasi tikar sederhana. Ray memandangi segala sudut rumah makan tersebut
dan mulai membidikkan kameranya ke objek yang menurutnya menarik.
“Ik, tempat ini punya feel tersendiri lho buat gue,” ujar Ray.
“Ohya??? Lo tahu??? Gue pernah ngamen di warung ini...” Ujar Oik sambil tersenyum.
“Serius lo??”
Oik menganggukkan kepalanya.
Lagi-
lagi Cakka harus menutup kupingnya ketika Oik berteriak tanda protes
karena kali ini ia mengajaknya kencan di warung sederhana yang tidak
punya kursi hanya ada tikar di atas lesehan dan itu membuat Oik sedikit
merinding melihatnya.
“Cakka!!! Kamu ga
romantis banget sih... dimana- mana kalo nge- date tuh di tempat- tempat
yang romantis lhaaa, ini... masa di lesehan????? Cakkaaa ga seru ini
mah...” protes Oik dengan keras.
“Sayang..
makanan disini ga kalah enak sma makanan- makanan di resto, coba aja
deh... Pasti ketagihan nanti.” Cakka berusaha membujuk Oik agar mau
masuk bersamanya ke dalam warung makan tersebut.
“Tapi, kalo aku sakit perut kamu harus tanggung jawab yah???” Ujar Oik sedikit mengancam.
Cakka hanya tersenyum lalu menuntun Oik masuk ke warung tersebut dan
duduk di lesehan tersebut. Belum ada beberapa menit segerombalan anak
kecil yang kotor dan dekil mendtangi mereka sambil memainkan sebuah alat
musik yang terbuat dari botol air mineral dan kaleng yang sungguh
memekakkan telinga.
“Cakka, suruh mereka pergi dong, aku jijik nih..” Ujar Oik setengah berbisik.
“Jangan... dengar, suara mereka tuh ibarat suara Tuhan yang menyuruh
kita supaya berbuat amal,” ujar Cakka dengan lembut dan tatapan sayunya,
mau tidak mau Oik pun harus mengaku kalah terhadap Cakka. “Ehh, mau
coba ngamen kayak mereka Ik??”
Oik langsung shock sejadi- jadinya mendengar ajakan Cakka dan dengan cepat ia menggeleng.
“Cakka jangan ngajak yang ngga- ngga dehh,”
“Aku serius Ik....”
Oik menatap Cakka seakan meminta penjelasan sekali lagi, namun, tetap
saja Cakka benar- benar ingin mewujudkan keinginannya untuk mengamen.
Oik menghela nafas panjang sebelum menjawab,
“oke aku mau, tapi sebentar aja ya...” ujar Oik sedikit ragu, Cakka
mengacak poninya sebelum ia mengadakan negosiasi dengan pengamen cilik
tadi.
Beberapa menit kemudian Cakka pun
datang dengan beberapa alat musik yang berhasil dipinjamnya dari
pengamen- pengamen tadi.
“Tugas kamu hanya
pegang bungkusan ini, terus sodorin ke pengunjung ya... Aku aja yang
nyanyi, Oke??” Cakka kemudian menyerahkan sebuah bungkusan permen yang
biasanya digunakan untuk menampung uang pemberian orang- orang, Oik
menerimanya dengan penuh keragu- raguan.
“Ayo
dong Ik, senyum.. gimana kita bisa dapat uang nantinya kalo kamu ga
nunjukin sifat ramah kamu,” ujar Cakka memberi motivasi, perlahan Oik
menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Cakka cukup puas
melihat senyuman manis kekasihnya tersebut, ia pun mulai menarik Oik
menghampiri salah satu meja pengunjung di warung tersebut.
“Permisi, Mas.. Mbak... kami ingin menghibur Mas dan Mbak sembari mas
dan Mbak mencicipi hidangannya, harap didengarkan...” Ujar Cakka, kedua
pengunjung itu tampak antusias melihat kedatangan Cakka dan Oik.
Bagaimana tidak Cakka dan Oik saat itu sedang berpakaian rapi dan
tampang mereka menunjukkan tampang orang- orang berkecukupan.
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu..
Masih seperti dulu tiap sudut menyapaku bersahabat,
Penuh selaksa warna..
Terhanyut aku akan nostalgia, saat kita sering luangkan waktu..
Nikmati bersama suasana Jogja....
Di persimpangan langkahku terhenti,
ramai kaki lima, menjajakan sajian khas berselera,
orang duduk bersila....
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu,
merintih sendiri ditelan deru kotamu...
Cakka
menyelesaikan lagunya dengan sempurna dan mendapatkan applause yang
meriah dari para pengunjung warung tersebut, termasuk si pemilik warung
itu. Cakka langsung menebarkan senyumannya, sementara Oik menyodorkan
bungkusan yang ada digenggamannya, para pengunjung pun mulai mengisi
bungkusan itu dengan uang, dalam hati Oik mengagumi suara Cakka yang
benar- benar amazing!
“Mas kenapa ga jadi penyanyi aja?? Suaranya keren lho...” Ujar salah satu pengunjung.
“Itu
saya diskusikan dulu sama istri saya mas..” Jawab Cakka asal- asalan
dan langsung mendapat satu cubitan kecil dari Oik dipinggangnya.
Para
pengunjung tertawa melihat tingkah lucu Cakka dan Oik, mereka pun
pamitan untuk pulang setelah membayar makanannya kepada si pemilik
warung tersebut. Sesampainya di luar, mereka bertemu dengan pengamen
tadi dan memberikan hasil mengamen tadi. Setelahnya para pengamen itupun
pergi dengan riang gembira.
“Lhaa, kok dikasih semua sih????” Oik sedikit tidak terima karena hasil perjuangannya melawan rasa malunya tadi tidak ia terima.
“Oik sayang... kita sedang beramal saat ini, percaya deh, kita bakal dapat pahala yang lebih banyak dari tadi..”
“Tapi, sayang... kamu tau ga aku tuh udah berjuang mati- matian melawan rasa malu aku.. masa ga dapat apa- apa???”
Cakka mengangkat dagu Oik dengan tangan kanannya lalu menyapu sudut bibir Oik, kemudian tersenyum.
“Udah
dapatkan sayang?? Itu spesial dari aku, karena kamu berhasil melawan
segala rasa gengsi kamu, rasa malu kamu, dan rasa ragu- ragu kamu...”
Ujar Cakka lalu menarik Oik ke dalam pelukannya, dan Oik pun mulai
merasakan dirinya jatuh, jatuh ke dalam hati Cakka yang begitu
sederhana, baik dan penuh cinta tentunya.
“Hadiah yang
spesial dari orang yang spesial... Hmmmm, menarik,” ujar Ray, kemudian
ia mulai menyantap makanan yang sudah terhidang dihadapannya.
Tiba-
tiba ketika mereka sedang asyik- asyiknya menyantap makanan mereka,
beberapa anak- anak yang berpenampilan acak- acakan dan kotor datang
menghampiri mereka Oik seperti merasakan de javu , Ray segera
melirik Oik sambil tersenyum, Oik mengerti maksud Ray dan segera menemui
pengamen- pengamen itu lalu bernegosiasi seperti yang dilakukan Cakka
waktu itu.
***
“Tempat terakhir sebelum kita menemui Cakka...” Ujar Oik, saat ini mereka sedang berada di dalam sebuah angkutan umum.
“gue makin ga sabar buat ketemu Cakka, penasaran nih..” Ujar Ray mengutak- atik kameranya.
Mobil
itupun berhenti di sebuah gerbang yang bertuliskan ‘SELAMAT DATANG DI
TAMAN WONOSARI’. Ray membidik tulisan itu dengan kameranya.
“Kita masuk ke dalam Ik????”
Oik
menganggukkan kepalanya, lalu melangkah menjejaki tanah lembab taman
itu, ia memandangi bunga di taman itu satu per satu sebelum akhirnya ia
meminta izin kepada penjaga taman untuk memetikkannya beberapa bunga
anggrek bulan.
“Bunga anggrek bulan, jadi ingat cerita pertemuan kalian,” ujar Ray. Oik hanya tersenyum.
“Disini, tepat di kerumunan bunga anggrek bulan ini, Cakka melamar gue.”
“Wawwww... serius???? Ceritain dong...”
Cakka
masih menutup mata Oik dengan kedua tangannya, sambil menuntun Oik
berjalan di taman bunga itu, perlahan Oik mencium bau khas bunga anggrek
bulan, dan sedetik kemudian Cakka melepaskan kedua tangannya dari mata
Oik.
Dan Oik tampak terpukau karena hamparan bunga anggrek bulan disekitarnya,
“Ingat ga, waktu pertama kali kita kenalan, kita lagi memperebutkan bunga ini??” Tanya Cakka lembut. Oik hanya mampu mengangguk.
Cakka
segera mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari saku
celananya, dan langsung mengeluarkan sebuah cincin putih yang sangat
indah.
“Oik... menikahlah denganku..”
Lagi-
lagi Oik hanya bisa menunjukkan ekspresi terkejutnya. Sementara Cakka
terlihat harap- harap cemas menunggu jawaban dari Oik.
“Cakka,
ini tuh telalu cepat, baru 6 bulan kita pacaran tapi kamu langsung
ngelamar aku..” Ujar Oik. Bukannya Oik tidak mau menerima lamaran Cakka,
hanya di hatinya masih ada ketakutan dan keraguan.
“Oik, kamu masih ragu kalau aku benar- benar cinta sama kamu???” Ujar Cakka seolah- olah tahu isi hati oik.
Oik mengangguk pelan.
“Ik, kamu tahu bagaimana perasaanku setiap ada di dekat kamu?” Tanya Cakka, Oik hanya bisa menggeleng.
“Rasanya
seperti tersengat aliran listrik beribu- ribu volt, jantungku berdegup
tak karuan, setiap bertemu kamu, aku ingin memelukmu dan menciummu
sebagai tanda aku mencintaimu, aku benar- benar mencintaimu Oik.” Oik
mulai yakin terhadap perasaan Cakka.
“Menikahlah
denganku, kita akan jalani hidup ini bersama- sama, kita akan mengurus
rumah kita kelak berdua saja, kita akan mengurus anak- anak kita
nantinya, aku yakin bersama denganmu hidup ini akan menjadi semakin
berwarna.” Ujar Cakka dan langsung disambut anggukan dari Oik
yangsepertinya sudah menahan tangisan harunya, Cakka segera menyematkan
cincin itu di jari manis tangan kiri Oik, lalu kemudian mencium bibirnya
untuk beberapa menit.
“Terimakasih Oik, sudah mau menjadi bagian di hidupku..” bisik Cakka.
Ray memetik salah satu bunga anggrek bulan itu lalu menyematkannya di daun telinga Oik.
“Kamu makin cantik dengan bunga itu,” ucap Ray kemudian menatap Oik.
“Thanks,
disinilah akhir segala ceritaku.. ayo kita ke tempat Cakka..” Ujar Oik
sambil menarik lengan Ray sementara itu di tangan kanannya Oik
menggenggam seikat bunga anggrek bulan.
***
Ray dan Oik memasuki sebuah lahan luas yang terdapat banyak gundukan tanah, Ray tampak kebingungan melihat sekitarnya.
“Ik,
kok kita kesini sih??? Katanya mau ke tempat Cakka???” Ujar Ray. Oik
hanya diam dan terus berjalan sampai akhirnya ia tiba di sebuah makam
yang sudah terhias indah. Ia pun mengelus batu nisan yang bertuliskan
‘CAKKA KAWEKAS NURAGA’
“Mak... maksud lo, Cakka udah....” Ray
tampak shock dan terkejut melihat makam yang ada dihadapannya. Oik
segera berlutut di samping nisan itu.
“Hai, Kka.. aku datang lagi,
aku menepati janjiku kan???” Ujar Oik dengan pelan perlahan kristal-
kristal air mulai mengalir deras keluar dari matanya. Ia mulai menangis,
menangisi tunangannya yang sudah tiada. Ray masih cukup shock melihat
kebenaran di depannya.
“Udah yang keberapa kalinya lo kesini Ik??” Tanya Ray sambil ikut mengambil posisi seperti Oik.
“Kedua kalinya, dan hal ini akan gue lakuin sampai seumur hidup gue,” Ujar Oik sambil terisak.
“Lo
bener- bener mencintainya ya, sampai lo punya rencana kayak gitu, gue
mau kok temanin lo kesini..” Ujar Ray. Oik masih larut dalam tangisannya
sambil terus mengelus batu nisan yang ada di atas makam Cakka.
“Cakka,
aku bawa bunga anggrek bulan, bunga pemersatu kita..” Ujar Oik sambil
tersenyum pahit lalu meletakkan bunga itu di atas makam Cakka.
“Makasih
udah pernah mengisi hidup aku, Cakka... Aku benar- benar mencintaimu,’
Ujar Oik dan kali ini tangisannya makin kencang dan pundaknya terlihat
mulai bergetar. Ray menarik Oik untuk besandar di pundaknya, lalu
mengelus pundak Oik dengan lembut.
“Gue yakin Cakka pasti senang lo bawain dia bunga anggrek bulan..” ujar Ray.
Oik mengangkat kepalanya dari pundak Ray dan mulai menghapus airmatanya,
“Makasih ya Ray, udah mau temanin gue kesini...” Ujar Oik yang masih sesegukan sementara Ray hanya mengangguk.
“Oke,
Ik.. udah jam setengah lima nih, kayaknya kita harus balik ke hotel,
yok..” Ajak Ray dan mereka pun segera bangkit berdiri, Oik berjalan
duluan sementara Ray di belakangnya, Oik semakin jauh berjalan di
depannya, Tiba- tiba Ray melihat sosok Cakka yang berpakaian serba
putih sedang tersenyum ke arahnya, ia pun membalas senyuman itu. Dan
perlahan sosok itu pun menghilang.
“Ray!!! Cepat, udah sore...” Ujar Oik setengah berteriak, kemudian Ray pun menyusul Oik.
“Ik, kalo bunga pemersatu lo sama Cakka bunga anggrek bulan, pemesatu kita bunga apa??????”
Oik hanya bisa membulatkan matanya menatap Ray yang sedang tersenyum menunggu jawabannya.
***
Oik kembali ke makam itu, ini sudah yang ke empat kalinya ia berkunjung
ke jogja dan makam Cakka tentunya, kali ini disampingnya sudah ada Ray
yang sedang menggendong seorang anak kecil yang kira- kira berumur 2
tahun.
Ray akhirnya menikah dengan Oik, dan selama ia
menikah dengan Oik ia tidak pernah melarang untuk mengunjungi makam
Cakka. Bahkan ia selalu setia menemani Oik.
“Cakka aku datang lagi, bareng Ray lagi...” Ujar Oik kali ini ia sudah mulai bisa tersenyum tegar.
“Kenalin ini anak kami namanya Cakka juga.. gapapa kan aku pake nama
kamu?? Biar bisa inget kamu terus...” Ujar Oik. Ray hanya tersenyum
sambil tetap menggendong putranya.
Oik kembali
mengelus batu nisan itu dan kemudian meletakkan bunga anggrek bulan di
atas makam itu. Ia pun bangkit berdiri dan keluarga kecil itu pun
meninggalkan makam itu diiringi hembusan angin sejuk.
Yogyakarta_End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar